Seperti
yang telah ditulis sebelumnya bahwa yang diperlukan untuk
mempertahankan keryawan handal adalah dengan membangun komitmen diawal
karyawan itu masuk, namun bagaimana jika memang karyawan sudah “given”
dan kita harus membuat agar mereka betah di perusahaan, terutama bagi
mereka yang dinilai potensial maupun yang handal. Untuk itu kali ini
kita membahas mengenai hal yang lain dan merupakan kunci sukses beberapa
perusahaan yang berhasil mempertahankan karyawan handalnya dengan
strategi yang lain lagi. Jadi bagi sebuah perusahaan yang selalu dan
terus bertahan bahkan selalu ingin yang terdepan dibanding para
kompetitornya, tentu mempunyai keunggulan-keunggulan yang tidak bisa
ditiru oleh para kompetitornya dan salah satu keunggulan itu adalah
terletak pada Sumber Daya Manusia yang ada di perusahaan itu. Dengan
begitu besarnya peran SDM dalam perusahaan tentu membawa para
pengelolanya untuk terus mencari dan mencari strategi yang tepat agar
para tenaga handalnya (SDM handal) mau tetap bertahan didalam perusahaan
dan juga mampu menahan gempuran-gempuran dari luar perusahaan yang
menginginkan tenaga-tenaga handal mereka. Apalagi saat ini sudah
memasuki era globalisasi, dimana seperti kita bahwa era Globalisasi
memang membuat lingkungan usaha gonjang-ganjing. Menggunakan istilahnya
Rhenald Kasali, globalisasi menciptakan apa yang disebut sebagai
lingkungan vertikal di mana perusahaan harus bertanding di atas tanah
yang terus bergoyang sehingga pemanfaatan peluang usaha semakin sulit
dan kemungkinan kegagalan menjadi semakin besar. Jeffrey Pfeffer
mengatakan bahwa kunci keberhasilan memenangkan persaingan di lingkungan
vertikal terletak di tangan SDM.
Yang
menjadi persoalan, mengembangkan SDM yang nantinya bisa diandalkan
bukan pekerjaan gampang. Ada perusahaan yang ingin potong kompas dengan
mengambil SDM handal dari perusahaan lain. Kegiatan potong kompas ini
semakin marak sehingga muncul fenomena baru: bajak membajak SDM. Contoh
yang paling gres adalah SDM yang memiliki kemampuan/keahlian di bidang
teknologi informasi (TI). Mereka sekarang jadi incaran banyak ‘pembajak’
SDM. Munculnya fenomena bajak-membajak tentu tidak menguntungkan
perusahaan yang telah dengan susah payah mengembangkan SDM nya.
Perusahaan tersebut mau tidak mau harus mencari jalan untuk
mempertahankan SDM andalannya. Satu strategi yang umum diterapkan adalah
dengan memberikan balas jasa tinggi yang baru bisa dicairkan setelah
yang bersangkutan bekerja selama jangka waktu tertentu di perusahaan
yang sama. Di AS, strategi ini dikenal sebagai Golden Handcuff.
Contohnya
adalah AT&T yang pada tahun 1996 menyediakan paket balas jasa untuk
Alex Mandl sebesar 10 juta dolar yang dapat dicairkan dalam jangka
waktu 5 tahun. Tingginya balas jasa kepada Mandl bisa dimengerti
mengingat ia telah disiapkan sejak lama untuk menjadi nahkoda AT&T.
Mandl tidak hanya dikenal sebagai ‘orang dalam’ tapi juga dianggap tahu
betul seluk beluk bisnis telekomunikasi. Macam Steve Ballmer di
Microsoft.
Selama
beberapa tahun, strategi golden handcuff cukup efektif menghambat arus
eksodus SDM handal di AS. Namun di akhir tahun 1990-an semakin banyak
perusahaan yang merasakan beban anggaran SDM yang semakin berat karena
semakin besarnya balas jasa yang harus ditawarkan kepada SDM handal.
Tambahan lagi, para pembajak SDM semakin berani menawarkan balas jasa
yang (jauh) lebih tinggi. Contohnya adalah Teligent yang menawarkan
paket balas jasa sebesar 20 juta dolar kepada Mandl yang dapat dicairkan
dalam jangka waktu yang sama. Balas jasa yang besarnya mencapai dua
kali lipat itu memang terbukti mampu membuat Mandl hengkang dari
AT&T.
Dengan
kata lain, strategi golden handcuff belakangan ini menciptakan semacam
‘perang harga’ yang tanpa berkesudahan. Perusahaan yang berkocek tebal
lah yang bakal menang. Tapi masalah sebenarnya bukan sekedar tebal
tipisnya kocek melainkan apakah uang sebanyak itu mampu mendatangkan
pendapatan yang setara bagi perusahaan dengan mempertimbangkan
ketakpastian lingkungan usaha. Semakin besar balas jasa yang ditawarkan
kepada SDM, semakin besar risiko kegagalan usaha karena semakin besar
biaya yang harus ditutup oleh pendapatan.
Ada
strategi lain yang mungkin saja dapat diterapkan dan mengurangi
kerugian yaitu dengan mengikat dalam bentuk kontrak dan adanya nilai
transfer jika karyawan itu akan bekerja di perusahaan lain, sehingga
biaya-biaya pengembangan bisa tertutupi, saat ini strategi itu
diterapkan pada industri sepakbola profesional yang ada di liga-liga
sepabola profesional di Eropah.
Namun
masih adakah strategi alternatif yang lebih elegan ? Untuk menjawabnya,
kita cukup kembali ke teori-teori motivasi. Teori pertama yang bisa
dijadikan acuan adalah teori ‘motivator-hygiene’ (M-H) nya Frederick
Herzberg. Teori M-H sebenarnya berujung pada kepuasan kerja, namun
penelitian menunjukkan hubungan yang positif antara kepuasan kerja dan
turnover SDM serta antara kepuasan kerja dan komitmen SDM. Pada intinya,
teori M-H justru kurang sependapat dengan pemberian balas jasa tinggi
macam strategi golden handcuff karena balas jasa tinggi hanya mampu
menghilangkan ketakpuasan kerja dan tidak mampu mendatangkan kepuasan
kerja (balas jasa hanyalah faktor hygiene, bukan motivator).
Untuk
mendatangkan kepuasan kerja, Herzberg menyarankan agar perusahaan
melakukan job enrichment, yaitu suatu upaya menciptakan pekerjaan dengan
tantangan, tanggung jawab dan otonomi yang lebih besar. Itulah yang
dilakukan oleh Bill Gates yang mendelegasikan sebagian kekuasaannya ke
Ballmer agar Ballmer tidak kabur (di samping balas jasa yang
menggiurkan), hal ini yang disebut dengan nilai kepercayaan ( belief)
sebagai bagian dari komitmen. Seperti kita ketahui akhirnya Ballmer
terbukti tetap bertahan di Microsoft dan bahkan kemudian dipromosikan
menggantikan Gates.
Teori
kedua adalah teori Scientific Management (SM) nya Frederick Taylor.
Banyak yang mengatakan bahwa teori tersebut sudah usang karena
menyarankan spesialisasi pekerjaan. Tapi kenyataannya teori SM masih
mampu mencegah eksodus para pengemudi truk pengirim paketnya UPS. Para
pengemudi ini dapat dikatakan merupakan ujung tombak UPS sebab merekalah
yang mengambil dan mengantarkan paket dari/ke tangan konsumen.
Mempersiapkan individu untuk menjadi pengemudi yang handal (menguasai
rute-rute pengiriman paket) membutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya.
Turnover
pengemudi yang relatif tinggi jelas merugikan UPS sehingga memaksa
manajemen perusahaan untuk meneliti sebab musabab hengkangya mereka.
Dari situ diketahui bahwa ternyata beban kerja pengemudi terlalu besar
karena mencakup bongkar muat paket di terminal/depo. Kegiatan bongkar
muat ini yang kemudian dialihkan ke sekelompok karyawan lain. Dengan
kata lain, UPS mempersempit cakupan (menspesialisasi) kerja para
pengemudi menjadi hanya mengemudi dan mengambil/mengantar paket yang
memang merupakan fungsi pokok mereka. Hasilnya: semakin sedikit
pengemudi UPS yang pindah ke perusahaan lain.
Alternatif
lain di luar teori-teori motivasi adalah Job Customization, yaitu
menyesuaikan pekerjaan dengan kondisi yang dihadapi oleh individu
karyawan. Salah satu contohnya adalah flex hours yang diterapkan oleh
Corning, penghasil barang-barang pecah belah kenamaan di AS. Corning
menghadapi masalah banyaknya SDM andalan yang kerepotan membagi waktu
antara kerja dan keluarga. Intinya, mereka mengeluh tidak punya waktu
untuk keluarga. Dampak selanjutnya: kepuasan kerja dan kinerja mereka
lambat laun menurun, dan bahkan ada diantara mereka yang berpikir untuk
mencari pekerjaan lain yang sesuai dengan pola hidup mereka.
Manajemen
Corning tidak mau membiarkan situasi dan pikiran seperti itu berkembang
dan merambah ke seluruh perusahaan. Untuk itulah kemudian para karyawan
diberikan fleksibilitas untuk bekerja hanya 3-4 hari dalam seminggu
dengan jam kerja menjadi 12 jam per hari. Meski mereka tetap harus
bekerja 40 jam seminggu, kebijakan tersebut setidaknya mengurangi waktu
transpor dari rumah ke kantor dan kembali ke rumah. Mereka bisa
menggunakan kelebihan waktu tadi untuk mengurus keluarga. Walhasil,
kepuasan kerja dan kinerja karyawan meningkat bahkan melebihi perkiraan
manajemen perusahaan, dan turnover SDM bisa diminimalkan.
Penyampaian strategi alternatif untuk mempertahankan SDM handal dimaksudkan agar perusahaan tidak terpaku pada sebuah strategi
seperti golden handcuff yang walaupun masih cukup populer namun semakin
lama tampak semakin berkurang keampuhannya, dan, yang lebih penting,
penerapan strategi alternatif tersebut tidak berdampak membengkaknya
biaya SDM sebesar penerapan strategi golden handcuff sementara
efektivitasnya bisa lebih tinggi. Oleh karena itu sangat sesuai untuk
diterapkan di perusahaan-perusahaan yang memiliki keterbatasan modal
kerja.
0 komentar:
Posting Komentar