Ketika diterima
oleh sebuah perusahaan untuk menjadi pengelola SDM, perusahaan ini sudah
berdiri hampir 5 tahun dan saya adalah orang kelima yang menjadi
pengelola SDM disitu. Sebagai orang baru tentunya kita harus melakukan
identifikasi akan semua kegiatan yang berlangsung didalam perusahaan dan
salah yang menjadi temuan adalah bahwa pada perusahaan ini tidak
menggunakan pola kerja berdasarkan struktur organisasi perusahaan,
semuanya hanya didasarkan pada pola kerja sehari-hari atau karena
kebiasaan semata, itu artinya setiap karyawan tidak mempunyai atau
mengetahui akan tugas dan tanggung jawabnya dalam bekerja, semua hanya
atas perintah atasan saja. Ketidakjelasan mengenai pola kerja berdasarkan
struktur organisasi perusahaan bukanlah hal yang mengherankan karena
banyak perusahaan memang tidak melihat pola kerja ini sebagai sebuah
kebutuhan tetapi banyak yang berfikiran bahwa pola kerja seperti ini
hanya membatasi para karyawannya dalam melakukan pekerjaan. Sementara
itu ada juga perusahaan yang dengan serius merancang dan membuat pola
kerja berdasarkan struktur organisasi perusahaan bahkan untuk
pengerjaannya diserahkan kepada sebuah konsultan, namun setelah semua
selesai dibuat dan didokumentasikan dengan bagus, para pengelola
perusahaan tidak menggunakannya sebagai acuan dalam operasional
sehari-hari sehingga apa yang sudah dibuat dengan biaya yang tidak
sedikit, jadi hiasan saja.
Sebenarnya
keberadaan pola kerja dengan mengacu atau tergambar dalam struktur
organisasi sangatlah membantu perusahaan kedepan seperti dalam bukunya
“The Second Curve”, Ian Morrison (1996) pernah mengindikasikan munculnya
apa yang disebut pasar kurva kedua (second curve marketplace) di awal
abad keduapuluh ini. Berbeda dengan pasar sebelumnya (ia sebut pasar
kurva pertama), pasar kurva kedua jauh lebih dinamis dan penuh
ketakpastian. Hal itu terutama disebabkan berubah-ubahnya selera dan
keinginan konsumen sejalan dengan pesatnya kemajuan teknologi khususnya
teknologi informasi. Dengan demikian, konsumen yang puas pada saat ini
belum tentu puas di masa mendatang. Untuk tetap memuaskan konsumen,
tidak ada cara lain kecuali terus mengikuti pergerakan selera dan
keinginan mereka (responsif). Responsif tidaknya suatu perusahaan banyak
dipengaruhi oleh struktur organisasi yang dimilikinya karena struktur
organisasi pada dasarnya merupakan peta alur kerja di dalam perusahaan.
Permasalahan
lain yang muncul adalah ketika membuat struktur organisasi hanya
berdasarkan faktor subjektif karena harus mengakomodir berbagai
kepentingan dari fihak-fihak tertentu sehingga struktur menjadi gemuk
dan tidak effisien. Bila kita kaitkan dengan situasi saat ini tentunya
organisasi perusahaan yang “gemuk” akan membuat semakin kompleks dan
birokratis peta alur kerjanya, semakin berliku-liku alur kerja dan
semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk merespon perubahan pasar.
Dengan kata lain, supaya responsif, perusahaan perlu memiliki struktur
organisasi yang relatif sederhana dan tidak birokratis (ramping).
Seperti apakah struktur yang ramping itu? Yang jelas tidak memiliki
banyak posisi yang bisa menimbulkan duplikasi, dan tidak memiliki banyak
tingkatan (jenjang) manajemen. Dengan demikian diperlukan adanya
keberanian dari manajemen perusahaan untuk dapat menyusun struktur
organisasi seobjektif mungkin. Akan tetapi ada persoalan lain yang
kemudian akan muncul ketika struktur organisasi yang dibuat ramping
adalah pada saat akan menempatkan personil pada sebuah jabatan
(placement), pada proses inilah biasanya kita akan mengalami dilema
karena ada faktor subjektifitas, untuk itu kita harus cepat membuat
peralatan (tool) yang mendukung proses penempatan, selain itu tentunya
harus berani untuk menolak setiap “ titipan” dari pihak-pihak tertentu.
Pembuatan
dan penyusunan struktur organisasi perusahaan akan lebih mudah
dilakukan untuk perusahaan baru atau yang akan berdiri namun sebaliknya
untuk perusahaan yang sudah eksis, perubahan struktur organisasi
terutama dalam rangka perampingan tentu akan berdampak terhadap
berlebihnya personil. Perusahaan tentu harus sudah dapat mengantisipasi
dampak dari program perampingan dimaksud, dengan berbagai solusi yang
bisa diterima oleh berbagai pihak, termasuk didalamnya para karyawan,
sebagai ilustrasi dapat disampaikan bahwa pada era awal tahun 2000 dan
mungkin sampai sekarang, banyak perusahaan di Indonesia maupun di Dunia
yang melakukan langkah effisiensi dengan salah satu caranya adalah
melaksanakan perampingan organisasi perusahaannya, langkah ini diambil
karena mereka sudah tidak punya lagi pilihan yang terbaik untuk terus
berkompetisi dalam mempertahankan kelangsungan perusahaan kedepan.
Konsekuensi dari perampingan ini adalah adanya karyawan yang harus
meninggalkan perusahaan atau terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Program PHK yang dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan besar dan
menengah serta kecil, bervariasi dalam penanganannya dari yang
menggunakan istilah “golden shakehand” sampai dengan ada yang pada
akhirnya perusahaan mengalami masalah baru karena tidak baik dalam
penanganannya.
Perkembangan
teori organisasi perusahaan terus berlanjut sebagai upaya untuk
mempertahankan kelangsungan bisnis perusahaan diantaranya bahwa suatu
organisasi perusahaan harus terus berkembang dengan hal-hal yang lebih
effisien (Organization Development), sebagai upaya mengantisipasi
persaingan usaha. Salah satu metoda yang diterapkan adalah merubah
sistim atau untuk hal-hal tertentu yang selama ini dianut yaitu
sentralisasi menjadi desentralisasi, antara lain memberikan otonomi
dalam hal kewenangan kepada unit-unit tertentu di dalam perusahaan.
Dengan demikian terjadi pemotongan birokrasi yang berliku-liku, dengan
pengertian bahwa yang menjadi kewenangan unit tersebut bisa langsung
dilaksanakan tanpa harus menunggu instruksi dari pusat.Dengan pola ini
apabila unit-unit tersebut terus berkembang maka unit-unit itu akan
berubah menjadi unit bisnis tersendiri sehingga pada suatu saat akan
menjadi apa yang disebut sebagai anak perusahaan, ini adalah sebuah pola
atau sistem pendirian perusahan dengan metoda pengembangan organisasi.
Akan tetapi dalam kenyataannya banyak anak-anak perusahaan bukan berasal
dari unit bisnis tetapi dibentuk langsung (instant) menjadi anak
perusahaan sehingga operasional anak perusahaan seperti anak sapi yang
harus disusui oleh induknya, artinya ketergantungan terhadap induk
perusahaan sangat besar.
Sebaliknya
dari contoh diatas adalah adanya beberapa perusahaan yang menjadi satu
(merger) dalam artian dalam satu wadah manajemen sehingga membentuk
induk perusahaan (holding company), semua perusahaan itu menjadi anak
perusahaan sehingga ada kewenangan-kewenangan yang diambil alih oleh
induknya, dengan pola ini bisa dibayangkan akan terjadi pengurangan
tugas dan wewenang dari perusahaan akibatnya tentu saja terjadi
pengurangan tenaga pada lapis-lapis atas, mungkin saja setingkat
direktur. Sebagai perbandingan untuk pola ini juga terjadi
didalam dunia militer kita dimana jumlah kodam yang saat itu 27 buah
dipersempit menjadi 10 kodam saja, dan itu masih belum ada perubahan
sampai saat ini, artinya apa, bahwa telah terjadi bahwa puluhan jenderal
akan menganggur atau menjadi pati di mabes AD alias non job. Hal ini
akhirnya membentuk faksi-faksi atau kelompok-kelompok untuk saling
berebut kekuasaan di dalam tubuh militer saat itu. Namun menurut saya
dampak positipnya adalah terjadi persaingan untuk menjadi yang terbaik
merupakan tantangan tersendiri bagi mereka yang masih mampu berpikir
positip.
Contoh
lain adalah dengan membuat organisasi horisontal (organization
Horizontal), organisasi ini meminimalisasi keberadaan jabatan fungsional
didalam perusahaan, yaitu dengan membentuk kelompok kerja ( pokja ) dan
memberikan otonomi untuk mengambil kebijakan sendiri yang penting
target-target perusahaan yang diberikan kepada pokja-pokja ini dapat
tercapai. Untuk diketahui bahwa pokja dibentuk hanya untuk alur kerja
yang inti saja artinya seluruh pekerjaan utama dari hulu ke hilir
dikerjakan oleh pokja. Namun seringkali pengembangan organisasi tidak
sesuai dengan budaya kita atau juga SDM perusahaan belum siap menerima
perubahan yang signifikan sehingga dalam operasional seringkali terjadi
hambatan, baik dari sisi sistem maupun SDMnya.
Jika
kita perhatikan dari uraian-uraian diatas, maka kita akan mendapat
gambaran betapa membuat struktur orgnisasi perusahaan bukanlah pekerjaan
yang mudah, karena selain faktor-faktor teknis ada juga faktor
non-teknis yang harus diperhatikan, jadi wajar saja jika ada perusahaan
yang tidak terlalu mementingkan keberadaan sebuah struktur organisasi
karena seringkali terungkap bahwa untuk membuatnya saja sudah susah
apalagi untuk melaksanakannya..............
0 komentar:
Posting Komentar