Dari beberapa milis yang membahas tentang dunia SDM, sering terlontar pertanyaan mengenai bagaimana kiat atau cara yang harus
dilakukan oleh seorang manajer SDM ketika ada seorang karyawan yang
menurut penilaiannya merupakan tenaga handal, berniat untuk mengundurkan
diri atau ingin berkarir diluar perusahaan atau lebih tepatnya yang
bersangkutan ingin keluar dari perusahaan. Pertanyaannya: apakah
karyawan tersebut harus dipertahankan dengan konsekuensi perusahaan
harus bernegosiasi atau melepaskannya juga dengan konsekuensi perusahaan
harus merekrut karyawan baru yang mempunyai kompetensi minimal sama.
Seperti
ada ungkapan bahwa “mempertahankan memang lebih sulit dari meraihnya”
demikian juga ketika kita berhasil mendapatkan seorang karyawan yang
handal dan mengembangkannya didalam perusahaan, kemudian karyawan
tersebut setelah berkarier didalam perusahaan, menyatakan mengundurkan
diri maka yaitu tadi sebagaimana tulisan diatas, perusahaan akan
mendapatkan dilema, apalagi saat ini dimana dunia usaha demikian
kompetitif tentu persoalan SDM handal merupakan hal yang utama bagi
perusahaan. Kenapa demikian ? mari kita lihat beberapa pernyataan dari
orang- orang yang berkompeten pada bidangnya :
“The only way we can beat the competition is with people”, kata Robert J. Eaton, chief Executive
officer (CEO) Chrysler Corporation, produsen mobil terkemuka di Amerika
Serikat (AS). Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa meskipun kita
dewasa ini berada di era teknologi canggih, peran Sumber Daya Manusia
(SDM) dalam menentukan keberhasilan perusahaan tidak dapat diabaikan
begitu saja. Jeffrey Pfeffer (1994) memperkuat pernyataan Eaton dengan
berargumentasi bahwa SDM merupakan
sumber keunggulan daya saing yang “tak lekang oleh panas, tak lapuk
oleh hujan”. Ia membandingkan kedudukan istimewa sumberdaya ini dengan
sumber-sumber keunggulan daya saing lain yang kini semakin berkurang
keampuhannya, seperti teknologi produk dan proses produksi. Sebagai contoh lain yaitu ,
perusahaan macam Xerox mampu menguasai pasar mesin fotokopi selama
kurang lebih 13 tahun karena memiliki teknologi produk (first
plain-paper copier) yang dipatenkan. Sekarang ini sulit sekali hal
semacam itu diwujudkan mengingat daur hidup produk sudah semakin singkat
sejalan dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi. Artinya, produk
yang tahun tertentu, misalnya, tergolong canggih, satu atau dua tahun
mendatang mungkin sudah menjadi produk yang tradisional dan
konvensional.
Sementara
itu, SDM mampu bertahan karena mereka memiliki kompetensi manajerial,
yaitu kemampuan untuk merumuskan visi dan strategi perusahaan serta
kemampuan untuk memperoleh dan mengerahkan sumberdaya-sumberdaya lain
dalam rangka mewujudkan visi dan menerapkan strategi perusahaan. Tentu
saja kompetensi ini tidak dapat datang begitu saja melainkan harus
ditumbuhkembangkan dengan melibatkan tidak hanya manajemen perusahaan
tetapi juga SDM itu sendiri. Jadi, dalam proses penumbuhkembangan
kompetensi manajerial, SDM adalah obyek sekaligus subyeknya. Namun SDM
tidak akan termotivasi untuk berperan serta aktif dalam proses tersebut
apabila mereka tidak memiliki komitmen terhadap perusahaan. Mengapa
demikian? Yoash Wiener (1982) berpendapat bahwa dengan dimilikinya
komitmen, maka SDM akan rela berkorban demi kemajuan perusahaan,
bersedia memberikan perhatian yang besar pada perkembangan perusahaan
dan memiliki tekat yang kuat untuk menjaga eksistensi perusahaan di
dalam pasar. Salah satu perwujudannya adalah kesediaan SDM untuk
berperan serta aktif dalam proses penumbuhkembangan kompetensi
manajerial mereka.
Apakah
komitmen itu? Charles O’Reilly (1989) mendefinisikannya secara
sederhana sebagai ikatan psikologis seseorang terhadap suatu perusahaan.
Ikatan ini, menurut Wiener (1982; 1988), tercipta karena adanya kepercayaan (belief) yang bersangkutan bahwa komitmen merupakan kewajiban moralnya terhadap perusahaan tempat ia bekerja. Kepercayaan
tersebut membuat komitmen menjadi fleksibel, maksudnya dapat
berpindah-pindah mengikuti kepindahan individu dari satu perusahaan ke
perusahaan lain. Ikatan psikologis juga dapat tercipta apabila
nilai-nilai dan norma-norma yang dianut oleh seseorang sesuai dengan
misi, tujuan, kebijakan dan gaya pengelolaan perusahaan tempat kerjanya.
Namun, O’Reilly berpendapat bahwa kedua hal di atas tidak serta merta
datangnya melainkan harus didahului oleh apa yang ia sebut sebagai
compliance dan identification. Compliance adalah suatu
kepatuhan individu terhadap keinginan perusahaan semata-mata karena yang
bersangkutan ingin mendapatkan sesuatu dari perusahaan tersebut
sedangkan Identification adalah suatu kebanggaan yang ada di dalam diri individu karena menjadi bagian dari perusahaan.
Yang
menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimanakah cara membangun
komitmen? Ada dua alternatif pendekatan yang dapat diterapkan.
Pendekatan pertama dikembangkan oleh Wiener (1982; 1988). Ia mengatakan
bahwa komitmen para pegawai perusahaan perlu dibangun sejak dini, yaitu
mulai dari tahap rekrutmen dan seleksi. Pada tahap itu, perusahaan
diharapkan hanya merekrut mereka yang memiliki kepercayaan bahwa
komitmen merupakan kewajiban moral terhadap perusahaan tempat mereka
bekerja atau mereka dengan nilai-nilai dan norma-norma yang sesuai
dengan misi, tujuan, kebijakan dan gaya pengelolaan perusahaan.
Dalam
hal perusahaan “terpaksa” untuk merekrut para pegawai baru yang tidak
memenuhi kedua persyaratan tadi karena tidak ada pilihan lain atau
karena sebab-sebab lain, maka perusahaan dianjurkan untuk mengadakan
proses sosialisasi segera setelah proses rekrutmen dan seleksi berakhir.
Proses sosialisasi ini dimaksudkan untuk memperkenalkan misi, tujuan,
kebijakan dan gaya pengelolaan perusahaan serta kemudian mendorong para
pegawai baru untuk menyelaraskan nilai-nilai dan norma-norma yang mereka
anut dengan misi, tujuan, kebijakan dan gaya pengelolaan perusahaan.
Tentunya apabila hingga proses sosialisasi berakhir masih terdapat
perbedaan-perbedaan mendasar yang kiranya sangat sulit atau tidak
mungkin diselaraskan di masa mendatang, maka perusahaan perlu
menyarankan kepada yang bersangkutan untuk mengundurkan diri dari
perusahaan.
Mungkin
ada diantara para pembaca yang beranggapan bahwa pengunduran diri
seperti itu sama artinya dengan pemborosan biaya-biaya rekrutmen,
seleksi dan sosialisasi. Anggapan tersebut tidak salah tetapi Wiener
mengingatkan bahwa mempertahankan seorang pegawai baru yang tidak
memenuhi salah satu dari dua persyaratan di atas sama juga artinya
dengan membuatnya terasing di dalam perusahaan. Dan apabila rasa
keterasingan tersebut terus dipelihara, dikhawatirkan prestasi dan
produktivitas kerja yang bersangkutan menjadi rendah.
Pendekatan
kedua dikembangkan oleh Margaret Neale dan Gregory Northcraft (1988).
Pendekatan ini mengemukakan tiga strategi membangun komitmen di dalam
perusahaan. Strategi pertama adalah apa yang mereka sebut sebagai
irreversibility yang pada dasarnya bertujuan untuk membuat keberadaan
individu di dalam perusahaan menjadi permanen.
Caranya,
misalnya, dengan menciptakan suatu sistem pensiun pegawai yang
sedemikian rupa sehingga apabila seorang pegawai keluar dari perusahaan,
maka dana pensiun yang telah ia kumpulkan selama masa kerjanya di
perusahaan tersebut menjadi hangus (tidak dapat diuangkan). Cara lainnya
adalah dengan memberikan bekal keterampilan atau keahlian yang sangat
spesifik untuk satu perusahaan yang tidak akan mendatangkan nilai tambah
bagi seorang pegawai dalam hal ia pindah ke perusahaan lain. Jika kita
perhatikan dengan seksama, maka sesungguhnya penerapan strategi
irreversibility dapat dikatakan merupakan sarana bagi terwujudnya
compliance di kalangan para pegawai mengingat motivasi mereka tetap
bertahan di dalam perusahaan adalah untuk memperoleh sesuatu atau tidak
ingin kehilangan sesuatu dari perusahaan tersebut.
Strategi
kedua adalah visibility, yaitu membuat segala kontribusi pegawai bagi
keberhasilan perusahaan menjadi kasat mata. Cara yang lazim dilakukan:
memberikan penghargaan (apakah itu dalam bentuk uang atau non uang)
kepada (para) pegawai yang memiliki andil dalam pencapaian target
keuntungan perusahaan. Kalau perlu penghargaan diberikan dalam suatu
upacara yang dihadiri oleh seluruh jajaran perusahaan.
Yang
diharapkan dari penerapan strategi tersebut adalah tumbuhnya rasa bahwa
apa yang telah dilakukan berguna bagi kemajuan perusahaan. Tumbuhnya
rasa seperti itu sangat penting karena merupakan cikal bakal
berkembangnya identification diantara para pegawai.
Strategi
ketiga adalah participative decision making yang memberikan kesempatan
kepada para pegawai untuk berperan serta aktif dalam proses pengambilan
keputusan. Edward Lawler III (1988) menyebutnya sebagai parallel
suggestion di mana para pegawai dimintakan saran-sarannya oleh para
pengambil keputusan. Salah satu perwujudan strategi ini adalah
dilaksanakannya program pengendalian mutu terpadu (total quality
control) di dalam perusahaan yang memberikan kesempatan kepada para
pegawai untuk memberikan sumbang saran melalui gugus-gugus kendali mutu
(quality circles) yang ada. Sama
seperti strategi yang kedua, strategi participative decision making
juga bertujuan untuk menumbuhkembangkan identification di kalangan para
pegawai sejalan dengan semakin intensifnya keterlibatan mereka dalam
pengambilan berbagai keputusan yang penting bagi perusahaan.
Membandingkan
pendekatan Neale dan Northcraft dengan pendekatan Wiener, tampak adanya
perbedaan yang mendasar pada sifat pendekatannya: pendekatan Wiener
lebih bersifat preventif karena “mencegah” masuknya orang-orang yang
tidak memiliki kepercayaan bahwa komitmen merupakan kewajiban moral
terhadap perusahaan tempat mereka bekerja atau yang tidak memiliki
kesesuaian nilai-nilai dan norma-norma dengan misi, tujuan, kebijakan
dan gaya pengelolaan perusahaan, sementara pendekatan Neale dan
Northcraft cenderung bersifat reaktif karena beranggapan tidak mungkin
mencegah masuknya orang-orang yang tidak diinginkan oleh Wiener. Meski
terdapat perbedaan, sesungguhnya kedua pendekatan tersebut dapat saling
melengkapi. Bagaimana pun juga pencegahan tetap perlu dilakukan, namun
dalam hal perusahaan “tidak memiliki pilihan lain” dan proses
sosialisasi tidak mampu mengatasinya, maka pendekatan Neale dan
Northcraft dapat diterapkan sehingga pemutusan hubungan kerja serta
pemborosan biaya-biaya rekrutmen, seleksi dan sosialisasi dapat
dihindari.
0 komentar:
Posting Komentar