Rabu, 16 April 2014

TURN OVER

Standard
Ada yang mengatakan bahwa salah satu keberhasilan atau kesuksesan dalam mengelola Sumber Daya Manusia dalam Perusahaan adalah ketika indikator Turn over Karyawan rendah, ini berarti kemampuan kita dalam memanage karyawan sudah memadai. Walaupun bukan satu-satunya indikator namun beberapa pengelola SDM menilai bahwa indikator ini sangat dipengaruhi banyak faktor, baik dari internal maupun eksternal perusahaan sehingga akan sulit mencapai angka turn over rendah namun hal inilah yang dapat dijadikan tantangan berat bagi para pengelola SDM perusahaan.
Tidak ada angka pasti untuk turn over yang ideal tetapi semakin tinggi angka turn over, mengindikasikan adanya persoalan dalam pengelolaan SDM Perusahaan, agar dapat menekan angka turn over menjadi rendah adalah dengan mempertahankan karyawan yang secara ideal, mempunyai kinerja tinggi, pengelola SDM tentu harus kerja ekstra keras terutama memantau perkembangan gaji diperusahaan lain termasuk didalamnya perusahaan kompetitor karena hengkangnya karyawan, paling banyak disebabkan oleh perbedaan gaji yang diterima karyawan pada satu perusahaan dengan perusahaan lain berbeda, disinilah manfaat dari aplikasi penggunaan hasil survey gaji. Seperti kita ketahui bersama bahwa pada era kompetitif seperti sekarang ini, perburuan terhadap orang yang mempunyai kinerja tinggi akan terus dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dalam rangka memenangkan persaingan bisnis. Banyak perusahaan yang tidak mau memeras keringat untuk mengembangkan karyawan supaya berkinerja tinggi karena berbagai alasan dan yang paling utama adalah kekhawatiran akan diburu oleh kompetitor sementara harga (cost) untuk mengembangkan karyawan sangat tinggi artinya perusahaan bisa mendapat rugi duakali. Akibatnya banyak perusahaan yang langsung mengambil tenaga “jadi” dari perusahaan lain karena secara matematis akan lebih menguntungkan.
Berbeda dengan perusahaan yang mempunyai turn over rendah tetapi karyawan yang ada ternyata tidak mempunyai kinerja tinggi melainkan karyawan dengan kinerja standar saja atau biasa-biasa saja atau bahkan dibawah standar. Mungkin bagi perusahaan seperti ini, angka turn over bukan merupakan indikator keberhasilan namun persoalannya adalah bagaimana meningkatkan atau mengembangkan karyawannya agar kinerjanya meningkat tetapi sekali lagi, jika perusahaan berhitung tentang cost pengembangan pegawai dengan resiko nantinya dibajak juga maka hal ini akan berdampak kepada pengelola SDM yang kemudian akan menjadi pasif, akibatnya secara umum, tidak akan meningkatkan kinerja perusahaan. Disisi lain perusahaan yang mempunyai turn over rendah dengan karyawan berkinerja rendah, boleh dikatakan angka turn over rendah ini akan bertahan lama karena para karyawan tidak punya pilihan untuk keluar dan perusahaan akan berjalan biasa-biasa saja. Bagaimana agar ada perubahan pada perusahaan, apa yang dibutuhkan, yang jelas untuk merubah diperlukan adanya suatu trigger yang kuat, dari pengalaman yang saya alami biasanya perusahaan seperti ini tidak mempunyai sistem yang baku untuk dijalankan sehingga semua berjalan dan bekerja secara rutin saja. Ketika sistem dibuat dan dijadikan acuan dalam proses kegiatan perusahaan maka yang terjadi adalah angka turn over berubah menjadi tinggi, hal ini disebabkan banyak karyawan yang menyatakan mundur dengan berbagai alasan namun bagi saya mereka tidak tahan dengan sistem yang dijalankan.
Kasus diatas ini menjadi menarik karena dengan angka turn over tinggi sementara karyawan yang ada mempunyai kinerja rendah, setelah ditelusuri ternyata perusahan ini sudah kelebihan karyawan sementara volume pekerjaan rendah, dengan demikian, ketika ada karyawan yang keluar maka tentunya akan berkorelasi dengan kinerja perusahaan, yang saat itu secara umum mulai ikut naik. Kejadian ini banyak terjadi pada perusahaan yang mismanajemen sehingga untuk merubahnya diperlukan penanganan yang ekstra hati-hati, agar tidak merusak sistim yang sudah dibuat.
Bagaimana dengan perusahaan yang mempunyai angka turn over tinggi dengan karyawan yang ada mempunyai kinerja tinggi juga, sudah pasti pengelola SDM akan mempunyai tugas yang berat yaitu harus siap setiap saat mencari dan merekrut karyawan baru dengan kriteria mempunyai kinerja tinggi yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan, agar kinerja perusahaan mampu dipertahankan. Sebaliknya apabila karyawan tersebut merupakan hasil pengembangan internal perusahaan maka hal ini tentu akan menjadi pekerjaan rutin lagi bagi pengelola SDM perusahaan agar merekrut tenaga yang berkinerja standar untuk dikembangkan lagi, demikian seterusnya berulang-ulang. Bagi perusahaan yang seperti ini, loncatnya karyawan yang telah dikembangkan sedemikian rupa, bukan merupakan sebuah persoalan yang merugikan tetapi mereka lebih melihat jauh kedepan dan mempunyai nilai strategis bagi perusahaan.
Banyak pertanyaan yang muncul ketika sebuah perusahaan dengan tenang melepas karyawan-karyawan terbaiknya untuk bekerja di perusahaan lain yang notabene adalah kompetitornya, jika kita melihat ini tentu pertanyaan akan muncul dari orang-orang yang selama ini selalu menghitung biaya pengembangan sebagai sebuah cost tinggi tanpa melihat nilai strategisnya kedepan. Nilai strategis yang seperti apa yang diharapkan perusahaan tersebut, menurut pemikiran saya, nilai tambah yang diambil adalah :
1. Dengan diambilnya karyawan oleh perusahaan lain apalagi sebagai kompetitornya maka perusahaan tersebut tentu saja sudah dapat mengukur kekuatan kompetitornya sehingga daya saing semakin dapat dipertahankan.
2. Masuknya karyawan baru untuk dikembangkan akan menghasilkan daya inovatif tersendiri sehingga perusahaan akan terus berkembang dengan ide-ide baru yang original.
3. Apabila ada perusahaan lain yang berani melakukan transfer karyawan tentu ini punya nilai keuntungan tersendiri secara finansial, disisi lain perusahaan tidak mengeluarkan dana samasekali ketika karyawan keluar dari perusahaan,
Ada juga perusahaan yang mempunyai angka turn overnya rendah namun didalam perusahaan banyak karyawan yang berkinerja tinggi dan mereka tidak mempunyai keinginan untuk pindah ke perusahaan lain walaupun gaji yang diterima lebih rendah dari karyawan yang berada di perusahaan kompetitornya. Sebenarnya inilah perusahaan yang ideal namun perusahaan seperti ini sangat sedikit sekali, apalagi di era keterbukaan komunikasi saat ini tentu memudahkan seseorang untuk memonitor perusahaan lain, Kunci sukses perusahaan seperti ini adalah adanya budaya kerja yang diterapkan di perusahaan yang membuat betah bekerja, bagi karyawan di perusahaan ini, gaji bukan nomor satu, tetapi rasa kebersamaan dan kekeluargaan lebih membuat karyawan nyaman bekerja. Membangun budaya kerja seperti inilah yang menjadi tantangan bagi kita semua pengelola SDM perusahaan.
Sekali lagi turn over bukan satu-satunya indikator keberhasilan dalam mengelola SDM tetapi yang paling utama adalah bagaimana meningkatkan kinerja perusahaan atau mempertahankan kinerja perusahaan agar tetap tinggi walaupun dengan kondisi adanya frekwensi keluar masuk karyawan yang tinggi, untuk itu kerja keras para pengelola SDM dalam mempertahankan karyawan yang ada dengan segala kemampuannya namun sekali lagi kompetitor tidak akan pernah tinggal diam, jadi kembali kepada kita lagi, harus bagaimana menyikapinya.

THE MAN BEHIND THE GUN

Standard
Perusahaan yang baik adalah perusahaan yang mampu unggul dari perusahaan kompetitornya tanpa melakukan hal-hal yang negatif baik dalam operasional perusahaan secara internal maupun upaya dalam bersaing dengan perusahaan lain apalagi melakukan tindakan yang merugikan berbagai pihak. Secara jelasnya bahwa perusahaan mampu unggul karena memang dalam perusahaan itu memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal namun bagaimana agar mendapatkan tenaga handal maka diperlukan suatu upaya yang keras terutama jika kita inginkan tenaga yang ideal untuk memenuhi kebutuhan perusahaan. Salah satu yang menjadi tolok ukur kita dalam mengelola SDM adalah ketika personil yang kita rekrut,dibina dan dikembangkan secara berkesinambungan sehingga membuat perusaan mampu laba atau paling tidak kontribusi tenaga kerja yang ada terlihat dengan jelas.
Apa sebenarnya keterkaitan judul diatas dengan para pengelola SDM perusahaan, sebenarnya adalah bagaimana upaya para pengelola SDM perusahaan untuk mendapatkan seorang karyawan yang dapat dikatakan tepat ketika bergabung dengan perusahaan dan ada 4 (empat) buah tepat yang terkait dengan SDM yaitu :
1. Tepat Orang (right man)
Bahwasanya ketika proses rekrutmen dilakukan dengan baik tentunya akan mendapatkan SDM yang terbaik dalam pengertian bahwa SDM yang direkrut telah memenuhi semua persyaratan yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan perusahaan (Sesuai Spesifikasinya)
2. Tepat Tempat (right place)
Ketika masuk kedalam perusahaan maka proses penempatan menjadi sesuatu yang penting karena jika gagal menempatkan tenaga yang baru akan berakibat tidak maksimalnya kemampuan yang dimiliki dalam melaksanakan kegiatan operasional. Dengan demikian menempatkan SDM pada tempat yang tepat merupakan sebuah langkah yang menentukan untuk kelancaran operasional perusahaan.
3. Tepat Pekerjaan (right job)
Dalam proses kegiatan sehari-hari setiap kegiatan pekerjaan memerlukan orang yang benar-benar menguasai bidang pekerjaannya sehingga ketika orang baru yang masuk tidak perlu waktu lagi untuk proses adaptasi. Dengan pekerjaan yang tepat orang akan nyaman dan akan mampu mencurahkan seluruh pemikiran terutama pengetahuan dan sikapnya terhadap pekerjaan dengan demikian pada tahap ini terjadi kesesuaian antara orang, tempat dan pekerjaan yang diawakinya.
4. Tepat waktu (right time)
Untuk diketahui bersama bahwa ketika orang mulai direkrut kemudian diberi wadah serta kejelasan pekerjaannya tentu pada saat yang bersamaan proses kegiatan pekerjaan mulai mengalir lancar dengan demikian saat itu adalah waktu yang tepat bagi orang itu langsung berkontribusi kepada perusahaan.
Dengan melihat tahap tepat diatas maka terlihat jelas bahwa para pengelola SDM di perusahaan mempunyai peran yang strategis dalam upaya melancarkan proses atau kegiatan produksi yakni salah satu dengan melakukan seleksi pegawai yang sesuai atau match dengan keempat tahap tersebut. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana atau cara para pengelola SDM perusahaan mampu mendapatkan orang yang serba tepat tentu dengan pola dan metoda yang tepat juga.
Bagi banyak perusahaan terutama perusahaan dengan skala menengah kebawah jarang memperhatikan hal seperti ini, karena perusahaan-perusahaan pada skala ini jarang mempunyai tenaga pengelola SDM yang handal dan mampu menjawab tantangan perusahaan kedepan apalagi bila kita kaitkan dengan rencana strategic perusahaan. Selain itu pada perusahaan-perusahaan dengan skala ini banyak para manajemennya membatasi gerak dari departemen SDM dengan aturan atau mekanisme kerjanya.
Kembali kepada hal mengenai serba tepat diatas, banyak contoh yang dapat diungkapkan merupakan keberhasilan seseorang ketika masuk kedalam perusahaan dan mampu membawa perubahan yang signifikan walaupun keberadaan mereka di perusahaan itu hanya sebentar saja. Sebagai contoh adalah ketika seorang yang bernama Cacuk Sudaryanto masuk ke Telkom pada era tahun 80 an, hanya dalam waktu yang singkat perusahaan yang tadinya seperti eksklusif karena tidak semua orang dapat dengan mudah mendapat pemasangan telepon rumah, tiba-tiba saja hampir setiap rumah dikota besar dapat memilikinya dan yang menurut saya lebih fenomenal adalah tumbuhnya warung telekomunikasi (wartel) yang bisa diakses oleh siapapun dan dimanapun tanpa dibatasi oleh ruang maupun waktu. Pada saat itulah yang tadinya telepon merupakan barang mewah berubah menjadi sesuatu yang bisa dimiliki atau digunakan oleh siapapun. Banyak orang-orang yang masuk kedalam perusahaan yang kemudian mampu merubah dan membuat perusahaan menjadi sangat maju. Contoh lain adalah Kuntoro Mangkusubroto yang mampu merubah perusahaan Timah menjadi Go Internasional, dan yang mungkin sangat relevan saat ini adalah seorang Rudy Hasan dengan perusahaan penerbangan Lion mampu memberikan harapan bahwa semua orang bisa naik pesawat kemanapun yang dikehendaki dengan harga murah dan akhirnya naik pesawat yang tadinya merupakan kemewahan sekarang ini bisa dilakukan oleh siapa saja.
Bukan tidak mungkin bahwa kita adalah orang yang serba tepat yang mampu merubah warna perusahaan dengan signifikan atau kita adalah para pengelola SDM perusahaan yang memang berprestasi mendapatkan orang yang serba tepat, semoga.

C S R ( CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY )

Standard
Pada tulisan kali saya tidak membahas pengelolaan SDM secara khusus akan tetapi bagaimana peran pengelola SDM perusahaan untuk menunjang program perusahaan yang saat ini banyak didengungkan yaitu tentang Tanggung jawab social Perusahaan, untuk itu kita harus tahu dahulu apa yang dimaksud dengan Tanggung jawab social perusahaan dan peran pengelola SDM perusahaan.
Banyak pakar manajemen mengatakan bahwa perusahaan akan bertahan dan terus survive (sustainable advantage) jika mampu berdaya saing dengan kompetitornya, salah satu caranya adalah bahwa perusahaan akan mampu bertahan jika adaptif terhadap lingkungan sekitar. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk mewujudkan hal itu, dan salah satunya adalah dengan menerapkan tanggung jawab sosial perusahaan, atau corporate social responsibility.
Namun sebelum kita membahas mengenai CSR ini ada baiknya kita mengetahui secara jelas apa yang dimaksud dengan CSR, karena banyak pengertian mengenai CSR yang berkembang didunia usaha kita saat ini namun menurut wikipedia dan ini bisa menggembarkan secara umum, adalah :
Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (selanjutnya dalam tulisan akan disingkat CSR) adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya) perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan.
CSR berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan", di mana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang.
Tetapi ada juga yang secara sederhana dapat didefinisikan CSR adalah serangkaian kegiatan yang dibiayai oleh perusahaan guna memberdayakan warga di sekeliling pabrik dengan membangun fasilitas-fasilitas sosial dan bisnis bagi mereka.
Apapun definisi dari CSR yang jelas adalah bagaimana perusahaan secara khususnya mempunyai kepedulian akan lingkungan sekitarnya terutama berkaitan dengan upaya perusahaan bersatu dengan lingkungan dengan jalan ikut membangun dan menata lingkungan baik secara pisik maupun spiritual. Kepedulian kepada masyarakat sekitar dapat diartikan sangat luas, namun secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi dan posisi perusahaan di dalam sebuah lingkungan melalui berbagai upaya kemaslahatan bersama bagi perusahaan dan lingkungannya. CSR adalah bukan hanya sekedar kegiatan amal, di mana CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh memperhitungkan akibat terhadap seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) perusahaan, termasuk lingkungan hidup. Hal ini mengharuskan perusahaan untuk membuat keseimbangan antara kepentingan beragam pemangku kepentingan eksternal dengan kepentingan pemegang saham, yang merupakan salah satu pemangku kepentingan internal.
Banyak perusahaan yang sukses menjalan program CSR walau dengan sangat selektif dalam menjalankan programnya namun terlihat sangat menarik untuk dijadikan contoh atas sebuah keberhasilan program CSR, perusahaan seperti Aqua, Unilever, Sampoerna, Jarum, dan IBM serta masih banyak yang lainnya, melakukannya dengan smart. Aktivitas CSR tidak sekadar di kawasan sekitar pabrik melainkan menyentuh kalangan yang lebih luas.
Sampoerna dan Jarum dikenal konsisten dengan program beasiswa yang mutunya dijaga ketat juga terus meningkatkan prestasi bidang keolahragaan, sementara Aqua dan Unilever memperkenalkan nilai-nilai kejujuran, empati kepada sesama, dan pentingnya kebersihan dalam hidup sehari-hari. Dengan teknologinya, IBM membantu korban gempa dan tsunami di Aceh maupun Nias serta renovasi candi Borobudur.
Dengan demikian program CSR bukan lagi soal donasi atau pemberian bantuan fisik, tetapi telah merambah kepada hal lain berupa penyebaran nilai-nilai kebaikan yang menembus segala ruang dan sekat. Sentuhan yang diberikan perusahaan-perusahaan tersebut pada nilai-nilai universal tentang perbuatan dan perilaku luhur itu dengan cepat menyentuh hati orang. Mari kita tengok mengenai keberhasilan program CSR ternyata reputasi perusahaan pun terangkat, dan tentu saja image perusahaan didalam masyarakat menjadi baik bahkan istimewa dan dampaknya penjualan meningkat. Artinya menjadi jelas bahwa semuanya akan bermuara pada bisnis juga kan...
Memang contoh perusahaan diatas adalah perusahaan yang langsung berhubungan dengan masyarakat sehingga dengan reputasi yang demikian tinggi maka konsumen tentu saja dengan sukarela mengeluarkan uang untuk membeli produk dari perusahaan dengan citra positif. Lalu bagaimana dengan perusahaan pertambangan yang notabene tidak bisa disamakan secara produk dan konsumennya apalagi banyak perusahaan pertambangan yang berada pada remote area, secara philosofi keberadaan program CSR tentu sangat berguna bagi masyarakat sekitar area pertambangan. Memang banyak masyarakat sekitar Tambang yang mengeluh karena ternyata keberadaan tambang tidak dirasakan secara riil malahan banyak lahan rakyat yang diambil dengan penggatian yang tidak memadai dan ini biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kecil yang dalam pengelolaan manajemennya lebih didasarkan pada profit oriented. Akibatnya program CSR tidak berjalan dengan semestinya dan hal ini juga dimungkinkan karena tidak ada audit dari instansi terkait terhadap program CSR setiap perusahaan.
Dari sisi perusahaan sering muncul pertanyaan mengenai bagaimana mengukur sebuah keberhasilan dalam melakukan program CSR karena jangan sampai muncul ungkapan bahwa program ini hanya untuk menghabiskan uang perusahaan tanpa ada hasil yang jelas. Dapat diuraikan disini bahwa skala dan sifat keuntungan dari CSR untuk suatu perusahaan dapat berbeda-beda tergantung dari sifat perusahaan tersebut. Banyak pihak berpendapat bahwa amat sulit untuk mengukur kinerja CSR, walaupun sesungguhnya cukup banyak literatur yang memuat tentang cara mengukurnya. Literatur tersebut misalnya metode "Empat belas poin balanced scorecard oleh Deming. Literatur lain misalnya Orlizty, Schmidt, dan Rynes yang menemukan suatu korelasi positif walaupun lemah antara kinerja sosial dan lingkungan hidup dengan kinerja keuangan perusahaan. Kebanyakan penelitian yang mengaitkan antara kinerja CSR (corporate social performance) dengan kinerja finansial perusahaan (corporate financial performance) memang menunjukkan kecenderungan positif, namun kesepakatan mengenai bagaimana CSR diukur belumlah lagi tercapai. Mungkin, kesepakatan para pemangku kepentingan global yang mendefinisikan berbagai subjek inti (core subject) dalam ISO 26000 Guidance on Social Responsibility--direncanakan terbit pada September 2010--akan lebih memudahkan perusahaan untuk menurunkan isu-isu di setiap subjek inti dalam standar tersebut menjadi alat ukur keberhasilan CSR.
Hasil Survey "The Millenium Poll on CSR" (1999) yang dilakukan oleh Environics International (Toronto), Conference Board (New York) dan Prince of Wales Business Leader Forum (London) di antara 25.000 responden dari 23 negara menunjukkan bahwa dalam membentuk opini tentang perusahaan, 60% mengatakan bahwa etika bisnis, praktik terhadap karyawan, dampak terhadap lingkungan, yang merupakan bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) akan paling berperan. Sedangkan bagi 40% lainnya, citra perusahaan & brand image-lah yang akan paling memengaruhi kesan mereka. Hanya 1/3 yang mendasari opininya atas faktor-faktor bisnis fundamental seperti faktor finansial, ukuran perusahaan,strategi perusahaan, atau manajemen.
Lebih lanjut, sikap konsumen terhadap perusahaan yang dinilai tidak melakukan CSR adalah ingin "menghukum" (40%) dan 50% tidak akan membeli produk dari perusahaan yang bersangkutan dan/atau bicara kepada orang lain tentang kekurangan perusahaan tersebut.
Sementara itu untuk pengelola SDM perusahaan dapat mengambil peran dalam program CSR, yaitu dapat berwujud pelaksanaan rekruitmen tenaga kerja dan mempekerjakan masyarakat sekitar. Lebih jauh lagi CSR dapat dipergunakan untuk menarik perhatian para calon pelamar pekerjaan terutama sekali dengan adanya persaingan kerja di antara para lulusan. Akan terjadi peningkatan kemungkinan untuk ditanyakannya kebijakan CSR perusahaan, terutama pada saat perusahaan merekruit tenaga kerja dari lulusan terbaik yang memiliki kesadaran sosial dan lingkungan. Dengan memiliki suatu kebijakan komprehensif atas kinerja sosial dan lingkungan, perusahaan akan bisa menarik calon-calon pekerja yang memiliki nilai-nilai progresif. CSR dapat juga digunakan untuk membentuk suatu atmosfer kerja yang nyaman di antara para staf, terutama apabila mereka dapat dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang mereka percayai bisa mendatangkan manfaat bagi masyarakat luas, baik itu bentuknya "penyisihan gaji", "penggalangan dana" ataupun kesukarelawanan (volunteering) dalam bekerja untuk masyarakat.

OBJEKTIFITAS MEMBANGUN SDM

Standard
Ketika kita berbicara akan sebuah perusahaan maka ada hal-hal yang harus kita cermati dari perusahaan itu atau misalkan kita ingin melihat apakah sebuah perusahaan dapat dikategorikan perusahaan yang baik, tentunya kita harus objektif dalam menilai untuk itu kita wajib mempunyai tool yang jelas agar penilaian tidak bersifat subjektif ataupun berdasarkan pada suka dan tidak suka yang dikarenakan oleh sesuatu yang membuat kita tidak bisa secara netral menilai. Sebagai orang yang berkecimpung pada bidang pengelolaan SDM perusahaan, ketika diberi tugas untuk menilai perusahaan lain maka seperti biasanya ketika sebuah perusahaan ingin melakukan banding (compare) terhadap kompetitornya maka harus ada ukuran-ukuran yang jelas sehingga ketika data itu didapat selayaknya perusahaan mengevaluasi secara komprehensif akan posisi kompetitornya. Sementara itu disisi yang lain ketika kita diberi tanggung jawab untuk mengelola sebuah perusahaan yang baru, tentunya tidak hanya infrastruktur fisik saja yang dibangun atau dipersiapkan akan tetapi yang bersifat non fisik juga harus dipersiapkan, untuk itu tool yang harus dimiliki agar arah pengelolaan perusahaan sesuai dengan keinginan kita akan dapat terwujud dikemudian hari.
Adapun tool yang yang digunakan adalah apa yang disebut dengan 7 S yaitu :
  1. Strategic (strategi), Perusahaan tentu harus punya strategi yang tepat dan biasanya strategi untuk jangka menengah dan panjang, sementara yang dimaksud disini bahwa setiap perusahaan tentu mempunyai Rencana Strategik (Renstra) yang dituangkan dalam tujuan perusahaan dalam jangka panjang.
  1. Structure (struktur), didalam perusahaan tentunya mempunyai organisasi yang jelas, hal ini untuk membedakan fungsi kerja dari masing-masing jabatan begitu juga bentuk wewenang serta tanggung jawab yang jelas dan adanya hubungan sinergis antar jabatan sebagai upaya menjalankan perusahaan secara bersama-sama.
  1. System (sistim), sebuah perusahaan tentu harus mempunyai prosedur atau langkah kerja yang baku dan prosedur ini merupakan pedoman yang harus dilakukan pada setiap kegiatan didalam perusahaan, untuk menunjang agar operasional dapat berjalan secara lancar, hal ini juga untuk mencegah terjadinya penyimpangan yang nantinya akan mengakibatkan kerugian di perusahaan.
  1. Skill (keahlian), sebuah perusahaan tentunya mempunyai kapabilitas dan kompetensi untuk berusaha atau menghasilkan sebuah produk dan untuk menunjang produk yang baik tentu diperlukan juga keahlian yang spesifik agar menjadi perusahaan yang terunggul.
  1. Share Values (Nilai-nilai budaya kerja), ada nilai-nilai yang harus menjadi pegangan dalam kegiatan operasional perusahaan dan nilai-nilai inilah sebagai kredo perusahaan dan menjadi “pegangan” setiap karyawan atau landasan prilaku karyawan dalam bekerja.
  1. Staff ( Sumber Daya Manusia ), point ini menjelaskan bahwa sudah seharusnya setiap perusahaan menjadikan SDM sebagai sesuatu yang menjadi keunggulan untuk itu adalah tugas perusahaan melakukan maintenance SDMnya melalui pengembangan secara kontinyu.
  1. Style (gaya kepemimpinan), maju tidaknya sebuah perusahaan dapat tercermin dari gaya pemimpinan yang diterapkan oleh para pengelola perusahaan terutama yang berada dilini paling atas, cara dan metode pendekatan yang digunakan oleh para pimpinan merupakan kunci keberhasilan dalam mengelola perusahaan.
Dengan mengkaji lebih dalam mengenai tujuh es ini maka setidaknya akan memberikan gambaran kepada kita tentang apa yang harus kita lakukan dalam mengelola perusahaan, memang bukan perkara mudah untuk menerapkan ketujuh es diatas karena dibutuhkan banyak pikiran dan waktu serta biaya yang tidak sedikit agar ketujuh es dapat terwujud minimal adalah secara konseptual perusahaan sudah memilikinya, dengan demikian maka minimal perusahaan sudah mempunyai atau melangkah dengan jangkauan pandangan kedepan. Ada hal yang menjadi prinsip yang harus kita gunakan sebagai acuan yaitu mari kita berbuat atau bertindak terlebih dahulu karena dengan demikian kita akan mengetahui bahwa apa yang kita lakukan sudah benar atau belum maksimal, yang jelas dengan proses perbaikan berjalan terus ( process improvement).
Bagi kita para pengelola SDM perusahaan tentunya sudah dapat mengambil peran yang benar-benar strategis untuk membangun ketujuh es diatas dan jika itu memang sudah tersedia maka akan memudahkan kita mengimplementasikan sesuai dengan peran kita sebagai pengelola SDM. Sebagai contoh adalah ketika perusahaan sudah mempunyai strategi kedepan maka kita harus membuat struktur organisasi yang sesuai dengan strategi perusahaan agar dengan struktur organisasi yang benar maka akan memudahkan membangun system (SOP) untuk masing-masing unit kerja selain itu kita juga harus mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) perusahaan agar dapat mendukung seluruh aktivitas perusahaan, yah memang bukan pekerjaan yang ringan namun tetap kita harus mampu melaksanakan itu dengan sebaik-baiknya.
Banyak perusahaan yang berjalan sekarang ini terutama perusahaan-perusahaan yang berbasis keluarga sangat kurang memperhatikan ketujuh es diatas, karena bagi mereka orientasinya lebih mementingkan keuntungan semata (profit oriented), selain itu membangun perusahaan dengan acuan tujuh es diatas tentunya juga memerlukan biaya yang tidak sedikit, sebenarnya jika nantinya akan lebih menangguk keuntungan lebih banyak kenapa tidak dicoba saja. Akan tetapi untuk perusahaan besar baik swasta maupun BUMN sudah menerapkan ketujuh es diatas karena bagi mereka dalam persaingan global seperti saat ini, mengelola perusahaan bukan semata mampu bertahan hidup tetapi juga harus unggul agar bisa bertahan lama, memang penerapan tujuh es diatas sudah banyak diimplementasikan oleh perusahaan besar walaupun tidak sesempurna atau seideal yang diinginkan…silahkan mencoba.

11  SIKAP PEMIMPIN

Ada sebuah ungkapan yang sering kita dengar yaitu “kegagalan adalah guru terbaik” atau ada juga yang mengatakan bahwa “kegagalan adalah sukses yang tertunda”, apapun istilah yang digunakan pada prinsipnya adalah bahwa setiap kegagalan akan memberikan inspirasi baru untuk menemukan sesuatu yang baru lagi dan bagi setiap orang yang telah mencoba sesuatu namun selalu mengalami kegagalan untuk mencapai tujuannya, sering dimotivasi dengan untuk terus mencoba dan mencoba. Memang semua berkaitan dengan sikap atau mental dalam menghadapi kegagalan, sikap pantang menyerah adalah inti dari orang yang selalu berhasil dalam hidupnya dan yang paling terkenal akan kegagalannya dan selalu dijadikan inspirasi orang untuk berbuat sesuatu adalah Thomas Alfa Edison, seperti diketahui beliau dapat menemukan lampu pijar setelah mencoba dan gagal berulang-ulang hingga mengalami kegagalan sebanyak dua ribu kali, sebuah jumlah yang mungkin bisa ditiru setiap orang namun akhirnyasebuah keberhasilan yang fenomenal kala itu, hasil karyanya tersebut masih kita nikmati sampai saat ini.
Entah karena didasarkan atas kesuksesan Thomas Alfa Edison kemudian muncul sebuah ungkapam bahwa kegagalan akan membawa kita pada sebuah kesuksesan. Sukses atau keberhasilan itu bukan karena terus mencoba dan mendapati kesalahan yang sama, tetapi sukses dan keberhasilan itu dapat kita raih karena mampu mengatasi masalah yang terus timbul setiap kali mencoba dan masalah yang timbul berbeda dari yang sebelumnya, demikian secara terus menerus kita akan menemukan masalah yang berbeda setiap kali kita mencoba dan secara terus menerus juga kita mampu mengatasi masalah hingga pada titik tertentu kita mencapai tujuan yang dikehendaki. Namun yang akan kita bahas kali ini adalah yang sebaliknya dari uraian diatas yaitu bahwa didalam hidup kita sehari-hari cenderung mengalami sikap-sikap yang tidak kita sadari sering membuat kita mengalami kegagalan, terutama dalam berinteraksi dengan lingkungan, hal ini berkaitan dengan tugas kita selaku pengelola perusahaan yang selalu harus setiap berinteraksi baik di lingkungan perusahaan maupun di luar perusahaan.
Bagaimana dengan saat ini ketika kita berada didalam sebuah perusahaan dan kita diberi tanggung jawab untuk mengelolanya karena semakin besar tanggung jawab seseorang di dalam perusahaan, semakin banyak tanggung jawab yang harus kita emban, agar perusahaan dapat terus berjalan dengan lancar. Selain pekerjaan yang harus dikelola dengan baik, maka hubungan dengan para rekan kerja, atasan dan bawahan juga merupakan hal yang harus dibina sebaik-baiknya. Untuk membina hubungan baik, diperlukan sikap yang mumpuni sesuai dengan lingkungan pekerjaan kita, baik budaya maupun adat istiadat disekitarnya.
Adakalanya kita tidak menyadari bahwa ada sikap-sikap kita yang ternyata menjadi hambatan utama dan akhirnya membuat kita mengalami kegagalan, untuk itu ada baiknya kita mengetahui akan beberapa sikap yang harus kita kelola dengan baik, agar dapat menunjang aktifitas kita sehari-hari didalam perusahaan dalam mengelola pekerjaan dan bagaimana kita akan berhasil membangun hubungan dengan orang lain. Hubungan interaksi antar manusia sangat dipengaruhi oleh sikap kita masing-masing karena sikap-sikap inilah yang seringkali membuat orang gagal dalam pekerjaannya. Untuk itu mari kita lihat ada sebelas sikap yang harus mampu kita kelola dengan baik dan tidak kita lakukan secara berlebihan, yaitu :
1. Arogansi : satu sikap dari seorang indvidu yang merasa bahwa hanya dirinya saja yang paling benar dalam melakukan sesuatu sementara apa yang dilakukan oleh orang lain dianggap tidak benar atau salah. Orang yang mempunyai sikap seperti ini, sering juga apabila melekat pada seorang atasan, akan dikonotasikan otoriter dan akibatnya tidak dapat bekerja dalam sebuah teamwork, seringkali akan ditinggalkan oleh rekan-rekannya maupun bawahannya.
2. Melograma : Sikap yang ditunjukkan dapat disamakan dengan selebritis, karena cenderung selalu ingin menjadi pusat perhatian bagi lingkungannya, baik bagi rekan-rekannya maupun atasan yang bersangkutan. Kecenderungan dinilai sebagai orang yang hanya mencari popularitas saja akibatnya dalam pekerjaannya tidak bisa fokus terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya.
3. Volatility : Sikap ini menyangkut kepada orang yang tingkah lakunya sulit ditebak, karena dalam sehari-hari biasanya melakukan tindakan atau bersikap sesuai mood-nya, terkadang orang ini sepertinya suka-suka sendiri atau semaunya sendiri dalam melakukan sesuatu sehingga akan mengakibatkan tidak matchnya apa yang dilakukan dengan yang diinginkan orang lain atau timnya.
4. Excessive Caution : Sikap ini adalah menyangkut atas adanya rasa takut dalam mengambil keputusan, hal ini biasanya juga karena terlalu banyaknya mengambil bahan pertimbangan atau juga ragu-ragu atau bisa juga karena takut akan resiko. Sikap ini mengakibatkan lambannya proses kegiatan atau dapat juga akan menghambat semua aktifitas perusahaan dan cenderung safety player
5. Habitual Distrust : sikap ini orientasinya kepada hal yang selalu curiga ke orang lain, rasa tidak percaya yang muncul mengakibatkan tidak lancarnya hubungan antar rekan kerja, terlebih lagi akan semakin menyulitkan apabila seorang atasan mempunyai sikap ini dampaknya, seorang karyawan atau bawahan akan takut melakukan sesuatu karena selalu akan dicurigai.
6. Aloofness : sikap ini adalah cenderung untuk mengasingkan diri dan sulit dihubungi serta tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain, atau dengan kata lain hanya ingin bekerja sendiri sehingga sikap ini bisa dikatakan atau sering dengan istilah introvert.
7. Mischievousness : Sikap yang berorientasi layaknya seorang pemberontak karena bagi orang seperti ini, peraturan dibuat untuk dilanggar, sehingga cenderung tidak disiplin, urakan dan tidak mau diatur, selain itu dampaknya adalah sikap orang ini akan menularkan atau mudah dicontoh orang lain.
8. Eccentricity : Sikap ini berorientasi selalu ingin berbeda, sehingga terkadang dianggap aneh oleh orang lain atau sikap seperti ini cenderung melawan arus sehingga adakalanya dikatakan tidak normal pemikirannya karena itu orang seperti ini tidak dapat bekerja secara tim.
9. Passive Resistance : Sikap ini menyangkut sebuah keyakinan yang ada pada seseorang, kecenderungannya merasa tidak yakin dengan apa yang dia katakan atau dengan kata lain sebenarnya dia tidak yakin dengan ide yang dimunculkan oleh dirinya sendiri, sering orang ini hanya bisa melemparkan pemikirannya namun dia tidak tahu harus mulai darimana.
10. Perfectionism : sikap ini menyangkut keinginan seseorang akan sebuah kesempurnaan, artinya jika bekerja harus tidak ada kesalahan sedikitpun sehingga orang seperti ini tidak toleran terhadap kesalahan akibatnya apapun pekerjaan yang dilakukan kebanyakan dianggap salah, hanya sedikit yang benar.
11. Eagerness to please : sikap ini lebih cenderung mengejar popularitas dalam setiap situasi terkadang orang-orang menyebutnya cari muka atau sok pahlawan atau juga ingin keberadaannya harus diperhatikan sebagai sosok yang penting dalam setiap kegiatan.

Dari sebelas sikap diatas adakah sikap yang sering kita rasakan setiap hari muncul dalam aktifitas kita dalam mengelola pekerjaan atau kita merasa bahwa sikap kita sudah benar dan merasa tidak yang mengkomplain kita atas sikap itu, atau karena kita melakukan sesuatu tanpa kita sadari sepenuhnya bahwa itu merupakan sikap yang akan membawa kegagalan dalam pekerjaan kita, sebaiknya kita mampu mengevaluasi diri dan jika merasakannya maka kelolalah dengan baik.
Disisi lain, sebagai pengelola SDM perusahaan maka kesebelas sikap diatas bisa dijadikan acuan dalam meningkatkan kinerja para karyawan karena hambatan-hambatan dari sikap-sikap karyawan sedini mungkin harus segera diminimalisir atau paling tidak kita sudah mengetahui dari awal tentang sikap karyawan pada saat rekruitmen dan tentu saja bagaimana kita menyikapi atas setiap sikap karyawan sebagai upaya perbaikan karena kegagalan yang dialami karyawan tentu juga adalah kegagalan kita…..

HUBUNGAN INDUSTRIAL

Standard

Seperti kita ketahui bersama bahwa seringnya terjadi perselisihan di dalam perusahaan merupakan sesuatu yang amat mengganggu kegiatan operasional perusahaan, banyak hal yang selalu menjadi pemicu permasalahan antara karyawan dan perusahaan, untuk itu perlunya suatu proses mediasi yang dilakukan agar dapat meredam terjadinya perselisihan tersebut. Proses mediasi inilah yang kemudian disebut sebagai Hubungan Industrial. Kegiatan yang berkaitan dengan Hubungan Industrial di dalam sebuah Perusahaan bisa dikatakan lebih dari sekedar dari hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan organisasi perusahaan itu sendiri. Perkembangan yang berkaitan dengan Hubungan Industrial merupakan cerminan adanya perubahan-perubahan dalam sifat dasar kerja di dalam suatu masyarakat (baik dalam arti ekonomi maupun sosial) dan adanya perbedaan pandangan mengenai peraturan perundangan undangan tentang ketenagakerjaan. Kegiatan Hubungan Industrial dapat dijelaskan, yaitu “meliputi sekumpulan fenomena, baik di luar maupun di dalam tempat kerja yang berkaitan dengan penetapan dan pengaturan hubungan ketenagakerjaan”. Namun, sulit untuk mendefinisikan istilah “Hubungan Industrial” secara tepat yang dapat diterima secara universal. Memang muncul pernyataan yang mendefinisikan “Hubungan Industrial” dikaitkan dengan laki-laki, bekerja penuh waktu, mempunyai serikat buruh, pekerja kasar di unit pabrik besar yang menetapkan tindakan-tindakan pengendalian, pemogokan, dan perundingan bersama.
Namun, di Indonesia Hubungan Industrial ternyata berkaitan dengan semua pihak yang terlibat dalam hubungan kerja di suatu perusahaan tanpa mempertimbangkan gender, keanggotaan dalam serikat pekerja/serikat buruh, dan jenis pekerjaan. Hubungan Industrial juga seharusnya tidak dilihat hanya dari persyaratan peraturan kerja organisasi yang sederhana, tetapi juga harus ditinjau dari hubungan sosial, politik dan ekonomi yang lebih luas ( dipandang secara komprehensif). Dengan kata lain Hubungan Industrial harus dipadukan dengan bidang sosial, politik dan ekonomi, ketiganya tidak dapat dipisahkan satu sama lain atau masing-masing tidak dapat berdiri sendiri. Di dalam Undang-undang ketenagakerjaan no.13 tahun 2003 pasal 16 disebutkan bahwa pengertian dari Hubungan Industrial adalah sistem Hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang 1945.
Secara sederhana, pengertian mengenai Hubungan Industrial adalah sebuah sistem hubungan yang terbangun atau terbentuk antara para pelaku proses produksi barang dan/atau jasa, baik internal maupun eksternal perusahaan. Pihak-pihak yang terkait di dalam hubungan ini terutama adalah pekerja, pengusaha, dan pemerintah yang kemudian diistilahkan sebagai tripartit. Dalam proses produksi pihak-pihak yang secara fisik sehari-hari terlibat langsung adalah pekerja/buruh dan pengusaha (operator), sedangkan pemerintah terlibat di dalam hal-hal tertentu saja terutama yang berkaitan dengan atau sesuai kewenangannya (regulator).
Hubungan Industrial berawal dari adanya hubungan kerja yang lebih bersifat individual antara pekerja dan pengusaha. Pengaturan hak dan kewajiban pekerja diatur melalui perjanjian kerja yang bersifat perorangan. Perjanjian kerja ini dilakukan pada saat penerimaan pekerja, antara lain memuat ketentuan mengenai waktu pengangkatan, persoalan masa percobaaan, jabatan yang bersangkutan, gaji (upah), fasilitas yang tersedia, tanggungjawab, uraian tugas, dan penempatan kerja. Di tingkat perusahaan pekerja dan pengusaha adalah dua pelaku utama dalam kegiatan Hubungan Industrial. Dalam Hubungan Industrial baik pihak perusahaan maupun pekerja/buruh mempunyai hak yang sama dan sah untuk melindungi hal-hal yang dianggap sebagai kepentingannya masing-masing juga untuk mengamankan tujuan-tujuan mereka, termasuk hak untuk melakukan tekanan melalui kekuatan bersama bila dipandang perlu. Di satu sisi, pekerja dan pengusaha mempunyai kepentingan yang sama, yaitu kelangsungan hidup dan kemajuan perusahan, tetapi di sisi lain hubungan antar keduanya juga mempunyai potensi konf1ik, terutama apabila berkaitan dengan persepsi atau interpretasi yang tidak sama tentang kepentingan masing-masing pihak. Hubungan industri melibatkan sejumlah konsep, misalnya konsep keadilan dan kesamaan, kekuatan dan kewenangan, individualisme dan kolektivitas, hak dan kewajiban, serta integritas dan kepercayaan. Sementara itu, fungsi utama pemerintah dalam Hubungan Industrial adalah mengadakan atau menyusun peraturan dan perundangan ketenagakerjaan agar hubungan antara pekerja dan pengusaha berja1an serasi dan seimbang, dilandasi oleh pengaturan hak dan kewajiban yang adil. Di samping itu pemerintah juga berkewajiban untuk menyelesaikan secara adil perselisihan atau konflik yang terjadi. Pada dasarnya, kepentingan pemerintah juga untuk menjaga kelangsungan proses produksi demi kepentingan yang lebih luas.
Tujuan akhir pengaturan Hubungan Industrial adalah untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan pekerja maupun pengusaha. Kedua tujuan ini saling berkaitan, tidak terpisah, bahkan saling mempengaruhi. Produktivitas perusahaan yang diawali dengan produktivitas kerja pekerjanya hanya mungkin terjadi jika perusahaan didukung oleh pekerja yang sejahtera atau mempunyai harapan bahwa di waktu yang akan datang kesejahteraan mereka akan lebih membaik.
Sementara itu kesejahteraan semua pihak, khususnya para pekerja, hanya mungkin dapat dipenuhi apabila didukung oleh produktivitas perusahaan pada tingkat tertentu, atau jika ada peningkatan produktivitas yang memadai, yang mengarah ke tingkat produktivitas sesuai dengan harapan pengusaha. Sebelum mampu mencapai tingkat produktivitas yang diharapkan, semua pihak yang terkait dalam proses produksi, khususnya pimpinan perusahaan, perlu secara sungguh-sungguh menciptakan kondisi kerja yang mendukung. Kunci utama keberhasilan menciptakan Hubungan Industrial yang aman dan dinamis adalah komunikasi. Untuk memelihara komunikasi yang baik memang tidak mudah, dan diperlukan perhatian secara khusus. Dengan terpeliharanya komunikasi yang teratur sebenarnya kedua belah pihak, pekerja dan pengusaha, akan dapat menarik manfaat besar.
Faktor penunjang utama dalam komunikasi ini adalah adanya interaksi positif antara pekerja
dan pengusaha. Interaksi semacam ini apabila dipelihara secara teratur dan berkesinambungan
akan menciptakan sa1ing pengertian dan kepercayaan. Kedua hal tersebut pada gilirannya akan merupakan faktor dominan dalam menciptakan ketenangan kerja dan berusaha atau industrial peace.
Bagi pekerja, komunikasi dapat dimanfaatkan untuk mengetahui secara dini dan mendalam
tentang kondisi perusahaan serta prospek perusahaan di masa yang akan datang. Disamping
itu, pekerja juga dapat menyampaikan berbagai pandangan mereka untuk membantu meningkatkan kinerja perusahaan. Hal semacam ini perlu ditanggapi secara positif oleh manajemen, agar sekaligus merupakan pengakuan dan penghargaan bagi para pekerja yang peduli terhadap nasib perusahaan. Sementara itu bagi manajemen atau pengusaha komunikasi pasti memiliki nilai positif. Disamping adanya keterlibatan atau partisipasi dari pekerja terhadap nasib perusahaan, manajemen juga dapat mengetahui sejak dini "denyut nadi" para pekerjanya, hingga pekerja di tingkat paling bawah. Dengan demikian manajemen dapat mengambil langkah penyelesaian masalah secara dini dan dapat mencegah agar masalahnya tidak menjadi lebih besar.
Prasyarat untuk dapat membina komunikasi adalah bahwa pimpinan unit kerja atau satuan kerja,
apapun fungsinya, pada dasarnya juga adalah pimpinan sumber daya manusia di unit atau satuan
kerja yang bersangkutan. Komunikasi tidak mungkin hanya dilakukan oleh satuan kerja/pimpinan
SDM (direktur eksekutf, para manajer, atau manajer divisi, dsb) tanpa adanya kepedulian dari
semua lini yang ada di perusahaan. Oleh karena itu pembinaan SDM pada umumnya, dan khususnya Hubungan Industrial, harus menjadi kepedulian semua pimpinan di setiap tingkat.
Untuk itu, Hubungan Industrial perlu dipahami oleh semua tingkat pimpinan, bukan hanya pimpinan SDM atau personalia semata-mata agar ketenangan kerja dan ketenangan berusaha yang menjadi tujuan antara dalam menciptakan Hubungan Industrial yang aman dan dinamis dapat terwujud. Ketenangan kerja dan berusaha dapat dilihat dari adanya indikator bahwa terjadi
hubungan kerja yang dinamis antara manajemen dan pekerja atau serikat pekerja.
Hubungan Industrial selalu bersifat kolektif dan meliputi kepentingan luas. Oleh karena itu, untuk
mencapai tujuannya sarana Hubungan Industrial juga bersifat kolektif. Sarana utama hubungan
industrial dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama, pada tingkat perusahaan ialah serikat
pekerja/serikat buruh, Kesepakatan Kerja Bersama/Perjanjian Kerja Bersama, Peraturan Perusahaan, lembaga kerjasama bipartit, pendidikan, dan mekanisme penyelesaian perselisihan
industrial. Kedua, sarana yang bersifat makro, yaitu serikat pekerja/serikat buruh, organisasi
pengusaha, lembaga kerjasama tripartit, peraturan perundang-undangan, penyelesaian perselisihan industrial, dan pengenalan Hubungan Industrial bagi masyarakat luas.
Ada 9 (sembilan) permasalahan yang sering timbul dan memicu konflik didalam perusahaan antara pekerja dan pengusaha, kesembilan itu adalah :
1. Solidaritas terhadap sesama pekerja yang dinilai telah diperlakukan secara kurang adil oleh perusahaan;
2. Perbedaan persepsi tentang perundangan dan peraturan pemerintah;
3. Menuntut kepala personalia yang dinilai bersikap keras terhadap pekerja/buruh dan berpihak pada perusahaan dan diminta agar mundur;
4. Perubahan manajemen perusahaan yang dinilai tidak memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan pekerja;
5. Menuntut adanya transparansi perusahaan (terutama berkaitan dengan keuntungan perusahaan yang mungkin dapat menjadi bagian pekerja/buruh dalam bentuk upah yang lebih tinggi atau peningkatan kesejahteraan);
6. Pelaksanaan peraturan uang pesangon; perusahaan dianggap tidak terbuka tentang keuntungan perusahaan;
7. Kecurigaan mengenai adanya penyalahgunaan dana Jamsostek;
8. Ketidaksabaran pekerja dalam menunggu hasil perundingan; atau
9. Tuntutan-tuntutan baru lainnya yang muncul seiring dengan meningkatnya pengetahuan pekerja tentang hak-hak mereka setelah SP-TP terbentuk di tempat kerja mereka.
Dengan demikian jika kita telah mengetahui secara jelas mengenai permasalahan-permasalahan itu, maka sudah sewajarnya kita selaku pengelola SDM Perusahaan sudah dapat mengantisipasi agar masalah itu tidak timbul dan kita bisa bekerja dengan tenang, untuk itu sebaiknya kita harus mengetahui bahwa ada beberapa Kepmen dan Undang-undang yang dapat mendukung proses permasalahan dalam Hubungan Industrial, yaitu :
1. Undang- Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
2. Kepmenakertrans No.16/Men/2001, tentang tatacara pencatatan SP/SB
3. Kepmenakertrans No.201/Men/2001, tentang keterwakilan dalam kelembagaan Hubungan Industrial
4. Kepmenakertrans RI No.Kep-255/Men/2003, tanggal 9 Desember 2003 tentang tatacara pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga kerjasama Bipartit
5. Kepmenakertrans RI No.Kep-255/Men/2003, tanggal 8 April 2004 tentang tatacara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan serta pembuatan dan pendaftaran perjanjian kerja bersama.
Selain itu ada norma-norma dalam Hubungan Industrial, yaitu :
1. Makro minimal, adalah ketentuan normatif yang mengatur mengenai hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha, makro minimal ini adalah undang-undang ketenagakerjaan dan peraturan pemerintah dan turunannya.
2. Makro kondisional, adalah perjanjian/peraturan antara organisasi dan karyawan yang mengatur hubungan kerja.
Dengan kedua jenis makro diatas, jelaslah bahwa norma ini diberlakukan dalam kaitan Hubungan Industrial dengan melihat tempat dan waktu serta mekanisme atau sistem yang ada dan terjadinya proses dalam menyelesaikan perselisihan yang terjadi didalam perusahaan.

MEMBANGUN KOMITMEN SDM

Standard
Dari beberapa milis yang membahas tentang dunia SDM, sering terlontar pertanyaan mengenai bagaimana kiat atau cara yang harus dilakukan oleh seorang manajer SDM ketika ada seorang karyawan yang menurut penilaiannya merupakan tenaga handal, berniat untuk mengundurkan diri atau ingin berkarir diluar perusahaan atau lebih tepatnya yang bersangkutan ingin keluar dari perusahaan. Pertanyaannya: apakah karyawan tersebut harus dipertahankan dengan konsekuensi perusahaan harus bernegosiasi atau melepaskannya juga dengan konsekuensi perusahaan harus merekrut karyawan baru yang mempunyai kompetensi minimal sama.
Seperti ada ungkapan bahwa “mempertahankan memang lebih sulit dari meraihnya” demikian juga ketika kita berhasil mendapatkan seorang karyawan yang handal dan mengembangkannya didalam perusahaan, kemudian karyawan tersebut setelah berkarier didalam perusahaan, menyatakan mengundurkan diri maka yaitu tadi sebagaimana tulisan diatas, perusahaan akan mendapatkan dilema, apalagi saat ini dimana dunia usaha demikian kompetitif tentu persoalan SDM handal merupakan hal yang utama bagi perusahaan. Kenapa demikian ? mari kita lihat beberapa pernyataan dari orang- orang yang berkompeten pada bidangnya :
“The only way we can beat the competition is with people”, kata Robert J. Eaton, chief Executive officer (CEO) Chrysler Corporation, produsen mobil terkemuka di Amerika Serikat (AS). Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa meskipun kita dewasa ini berada di era teknologi canggih, peran Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menentukan keberhasilan perusahaan tidak dapat diabaikan begitu saja. Jeffrey Pfeffer (1994) memperkuat pernyataan Eaton dengan berargumentasi bahwa SDM merupakan sumber keunggulan daya saing yang “tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan”. Ia membandingkan kedudukan istimewa sumberdaya ini dengan sumber-sumber keunggulan daya saing lain yang kini semakin berkurang keampuhannya, seperti teknologi produk dan proses produksi. Sebagai contoh lain yaitu , perusahaan macam Xerox mampu menguasai pasar mesin fotokopi selama kurang lebih 13 tahun karena memiliki teknologi produk (first plain-paper copier) yang dipatenkan. Sekarang ini sulit sekali hal semacam itu diwujudkan mengingat daur hidup produk sudah semakin singkat sejalan dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi. Artinya, produk yang tahun tertentu, misalnya, tergolong canggih, satu atau dua tahun mendatang mungkin sudah menjadi produk yang tradisional dan konvensional.
Sementara itu, SDM mampu bertahan karena mereka memiliki kompetensi manajerial, yaitu kemampuan untuk merumuskan visi dan strategi perusahaan serta kemampuan untuk memperoleh dan mengerahkan sumberdaya-sumberdaya lain dalam rangka mewujudkan visi dan menerapkan strategi perusahaan. Tentu saja kompetensi ini tidak dapat datang begitu saja melainkan harus ditumbuhkembangkan dengan melibatkan tidak hanya manajemen perusahaan tetapi juga SDM itu sendiri. Jadi, dalam proses penumbuhkembangan kompetensi manajerial, SDM adalah obyek sekaligus subyeknya. Namun SDM tidak akan termotivasi untuk berperan serta aktif dalam proses tersebut apabila mereka tidak memiliki komitmen terhadap perusahaan. Mengapa demikian? Yoash Wiener (1982) berpendapat bahwa dengan dimilikinya komitmen, maka SDM akan rela berkorban demi kemajuan perusahaan, bersedia memberikan perhatian yang besar pada perkembangan perusahaan dan memiliki tekat yang kuat untuk menjaga eksistensi perusahaan di dalam pasar. Salah satu perwujudannya adalah kesediaan SDM untuk berperan serta aktif dalam proses penumbuhkembangan kompetensi manajerial mereka.
Apakah komitmen itu? Charles O’Reilly (1989) mendefinisikannya secara sederhana sebagai ikatan psikologis seseorang terhadap suatu perusahaan. Ikatan ini, menurut Wiener (1982; 1988), tercipta karena adanya kepercayaan (belief) yang bersangkutan bahwa komitmen merupakan kewajiban moralnya terhadap perusahaan tempat ia bekerja. Kepercayaan tersebut membuat komitmen menjadi fleksibel, maksudnya dapat berpindah-pindah mengikuti kepindahan individu dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Ikatan psikologis juga dapat tercipta apabila nilai-nilai dan norma-norma yang dianut oleh seseorang sesuai dengan misi, tujuan, kebijakan dan gaya pengelolaan perusahaan tempat kerjanya. Namun, O’Reilly berpendapat bahwa kedua hal di atas tidak serta merta datangnya melainkan harus didahului oleh apa yang ia sebut sebagai compliance dan identification. Compliance adalah suatu kepatuhan individu terhadap keinginan perusahaan semata-mata karena yang bersangkutan ingin mendapatkan sesuatu dari perusahaan tersebut sedangkan Identification adalah suatu kebanggaan yang ada di dalam diri individu karena menjadi bagian dari perusahaan.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimanakah cara membangun komitmen? Ada dua alternatif pendekatan yang dapat diterapkan. Pendekatan pertama dikembangkan oleh Wiener (1982; 1988). Ia mengatakan bahwa komitmen para pegawai perusahaan perlu dibangun sejak dini, yaitu mulai dari tahap rekrutmen dan seleksi. Pada tahap itu, perusahaan diharapkan hanya merekrut mereka yang memiliki kepercayaan bahwa komitmen merupakan kewajiban moral terhadap perusahaan tempat mereka bekerja atau mereka dengan nilai-nilai dan norma-norma yang sesuai dengan misi, tujuan, kebijakan dan gaya pengelolaan perusahaan.
Dalam hal perusahaan “terpaksa” untuk merekrut para pegawai baru yang tidak memenuhi kedua persyaratan tadi karena tidak ada pilihan lain atau karena sebab-sebab lain, maka perusahaan dianjurkan untuk mengadakan proses sosialisasi segera setelah proses rekrutmen dan seleksi berakhir. Proses sosialisasi ini dimaksudkan untuk memperkenalkan misi, tujuan, kebijakan dan gaya pengelolaan perusahaan serta kemudian mendorong para pegawai baru untuk menyelaraskan nilai-nilai dan norma-norma yang mereka anut dengan misi, tujuan, kebijakan dan gaya pengelolaan perusahaan. Tentunya apabila hingga proses sosialisasi berakhir masih terdapat perbedaan-perbedaan mendasar yang kiranya sangat sulit atau tidak mungkin diselaraskan di masa mendatang, maka perusahaan perlu menyarankan kepada yang bersangkutan untuk mengundurkan diri dari perusahaan.
Mungkin ada diantara para pembaca yang beranggapan bahwa pengunduran diri seperti itu sama artinya dengan pemborosan biaya-biaya rekrutmen, seleksi dan sosialisasi. Anggapan tersebut tidak salah tetapi Wiener mengingatkan bahwa mempertahankan seorang pegawai baru yang tidak memenuhi salah satu dari dua persyaratan di atas sama juga artinya dengan membuatnya terasing di dalam perusahaan. Dan apabila rasa keterasingan tersebut terus dipelihara, dikhawatirkan prestasi dan produktivitas kerja yang bersangkutan menjadi rendah.
Pendekatan kedua dikembangkan oleh Margaret Neale dan Gregory Northcraft (1988). Pendekatan ini mengemukakan tiga strategi membangun komitmen di dalam perusahaan. Strategi pertama adalah apa yang mereka sebut sebagai irreversibility yang pada dasarnya bertujuan untuk membuat keberadaan individu di dalam perusahaan menjadi permanen.
Caranya, misalnya, dengan menciptakan suatu sistem pensiun pegawai yang sedemikian rupa sehingga apabila seorang pegawai keluar dari perusahaan, maka dana pensiun yang telah ia kumpulkan selama masa kerjanya di perusahaan tersebut menjadi hangus (tidak dapat diuangkan). Cara lainnya adalah dengan memberikan bekal keterampilan atau keahlian yang sangat spesifik untuk satu perusahaan yang tidak akan mendatangkan nilai tambah bagi seorang pegawai dalam hal ia pindah ke perusahaan lain. Jika kita perhatikan dengan seksama, maka sesungguhnya penerapan strategi irreversibility dapat dikatakan merupakan sarana bagi terwujudnya compliance di kalangan para pegawai mengingat motivasi mereka tetap bertahan di dalam perusahaan adalah untuk memperoleh sesuatu atau tidak ingin kehilangan sesuatu dari perusahaan tersebut.
Strategi kedua adalah visibility, yaitu membuat segala kontribusi pegawai bagi keberhasilan perusahaan menjadi kasat mata. Cara yang lazim dilakukan: memberikan penghargaan (apakah itu dalam bentuk uang atau non uang) kepada (para) pegawai yang memiliki andil dalam pencapaian target keuntungan perusahaan. Kalau perlu penghargaan diberikan dalam suatu upacara yang dihadiri oleh seluruh jajaran perusahaan.
Yang diharapkan dari penerapan strategi tersebut adalah tumbuhnya rasa bahwa apa yang telah dilakukan berguna bagi kemajuan perusahaan. Tumbuhnya rasa seperti itu sangat penting karena merupakan cikal bakal berkembangnya identification diantara para pegawai.
Strategi ketiga adalah participative decision making yang memberikan kesempatan kepada para pegawai untuk berperan serta aktif dalam proses pengambilan keputusan. Edward Lawler III (1988) menyebutnya sebagai parallel suggestion di mana para pegawai dimintakan saran-sarannya oleh para pengambil keputusan. Salah satu perwujudan strategi ini adalah dilaksanakannya program pengendalian mutu terpadu (total quality control) di dalam perusahaan yang memberikan kesempatan kepada para pegawai untuk memberikan sumbang saran melalui gugus-gugus kendali mutu (quality circles) yang ada. Sama seperti strategi yang kedua, strategi participative decision making juga bertujuan untuk menumbuhkembangkan identification di kalangan para pegawai sejalan dengan semakin intensifnya keterlibatan mereka dalam pengambilan berbagai keputusan yang penting bagi perusahaan.
Membandingkan pendekatan Neale dan Northcraft dengan pendekatan Wiener, tampak adanya perbedaan yang mendasar pada sifat pendekatannya: pendekatan Wiener lebih bersifat preventif karena “mencegah” masuknya orang-orang yang tidak memiliki kepercayaan bahwa komitmen merupakan kewajiban moral terhadap perusahaan tempat mereka bekerja atau yang tidak memiliki kesesuaian nilai-nilai dan norma-norma dengan misi, tujuan, kebijakan dan gaya pengelolaan perusahaan, sementara pendekatan Neale dan Northcraft cenderung bersifat reaktif karena beranggapan tidak mungkin mencegah masuknya orang-orang yang tidak diinginkan oleh Wiener. Meski terdapat perbedaan, sesungguhnya kedua pendekatan tersebut dapat saling melengkapi. Bagaimana pun juga pencegahan tetap perlu dilakukan, namun dalam hal perusahaan “tidak memiliki pilihan lain” dan proses sosialisasi tidak mampu mengatasinya, maka pendekatan Neale dan Northcraft dapat diterapkan sehingga pemutusan hubungan kerja serta pemborosan biaya-biaya rekrutmen, seleksi dan sosialisasi dapat dihindari.

PROBLEMATIKA ORGANISASI

Standard
Ketika diterima oleh sebuah perusahaan untuk menjadi pengelola SDM, perusahaan ini sudah berdiri hampir 5 tahun dan saya adalah orang kelima yang menjadi pengelola SDM disitu. Sebagai orang baru tentunya kita harus melakukan identifikasi akan semua kegiatan yang berlangsung didalam perusahaan dan salah yang menjadi temuan adalah bahwa pada perusahaan ini tidak menggunakan pola kerja berdasarkan struktur organisasi perusahaan, semuanya hanya didasarkan pada pola kerja sehari-hari atau karena kebiasaan semata, itu artinya setiap karyawan tidak mempunyai atau mengetahui akan tugas dan tanggung jawabnya dalam bekerja, semua hanya atas perintah atasan saja. Ketidakjelasan mengenai pola kerja berdasarkan struktur organisasi perusahaan bukanlah hal yang mengherankan karena banyak perusahaan memang tidak melihat pola kerja ini sebagai sebuah kebutuhan tetapi banyak yang berfikiran bahwa pola kerja seperti ini hanya membatasi para karyawannya dalam melakukan pekerjaan. Sementara itu ada juga perusahaan yang dengan serius merancang dan membuat pola kerja berdasarkan struktur organisasi perusahaan bahkan untuk pengerjaannya diserahkan kepada sebuah konsultan, namun setelah semua selesai dibuat dan didokumentasikan dengan bagus, para pengelola perusahaan tidak menggunakannya sebagai acuan dalam operasional sehari-hari sehingga apa yang sudah dibuat dengan biaya yang tidak sedikit, jadi hiasan saja.
Sebenarnya keberadaan pola kerja dengan mengacu atau tergambar dalam struktur organisasi sangatlah membantu perusahaan kedepan seperti dalam bukunya “The Second Curve”, Ian Morrison (1996) pernah mengindikasikan munculnya apa yang disebut pasar kurva kedua (second curve marketplace) di awal abad keduapuluh ini. Berbeda dengan pasar sebelumnya (ia sebut pasar kurva pertama), pasar kurva kedua jauh lebih dinamis dan penuh ketakpastian. Hal itu terutama disebabkan berubah-ubahnya selera dan keinginan konsumen sejalan dengan pesatnya kemajuan teknologi khususnya teknologi informasi. Dengan demikian, konsumen yang puas pada saat ini belum tentu puas di masa mendatang. Untuk tetap memuaskan konsumen, tidak ada cara lain kecuali terus mengikuti pergerakan selera dan keinginan mereka (responsif). Responsif tidaknya suatu perusahaan banyak dipengaruhi oleh struktur organisasi yang dimilikinya karena struktur organisasi pada dasarnya merupakan peta alur kerja di dalam perusahaan.
Permasalahan lain yang muncul adalah ketika membuat struktur organisasi hanya berdasarkan faktor subjektif karena harus mengakomodir berbagai kepentingan dari fihak-fihak tertentu sehingga struktur menjadi gemuk dan tidak effisien. Bila kita kaitkan dengan situasi saat ini tentunya organisasi perusahaan yang “gemuk” akan membuat semakin kompleks dan birokratis peta alur kerjanya, semakin berliku-liku alur kerja dan semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk merespon perubahan pasar. Dengan kata lain, supaya responsif, perusahaan perlu memiliki struktur organisasi yang relatif sederhana dan tidak birokratis (ramping). Seperti apakah struktur yang ramping itu? Yang jelas tidak memiliki banyak posisi yang bisa menimbulkan duplikasi, dan tidak memiliki banyak tingkatan (jenjang) manajemen. Dengan demikian diperlukan adanya keberanian dari manajemen perusahaan untuk dapat menyusun struktur organisasi seobjektif mungkin. Akan tetapi ada persoalan lain yang kemudian akan muncul ketika struktur organisasi yang dibuat ramping adalah pada saat akan menempatkan personil pada sebuah jabatan (placement), pada proses inilah biasanya kita akan mengalami dilema karena ada faktor subjektifitas, untuk itu kita harus cepat membuat peralatan (tool) yang mendukung proses penempatan, selain itu tentunya harus berani untuk menolak setiap “ titipan” dari pihak-pihak tertentu.
Pembuatan dan penyusunan struktur organisasi perusahaan akan lebih mudah dilakukan untuk perusahaan baru atau yang akan berdiri namun sebaliknya untuk perusahaan yang sudah eksis, perubahan struktur organisasi terutama dalam rangka perampingan tentu akan berdampak terhadap berlebihnya personil. Perusahaan tentu harus sudah dapat mengantisipasi dampak dari program perampingan dimaksud, dengan berbagai solusi yang bisa diterima oleh berbagai pihak, termasuk didalamnya para karyawan, sebagai ilustrasi dapat disampaikan bahwa pada era awal tahun 2000 dan mungkin sampai sekarang, banyak perusahaan di Indonesia maupun di Dunia yang melakukan langkah effisiensi dengan salah satu caranya adalah melaksanakan perampingan organisasi perusahaannya, langkah ini diambil karena mereka sudah tidak punya lagi pilihan yang terbaik untuk terus berkompetisi dalam mempertahankan kelangsungan perusahaan kedepan. Konsekuensi dari perampingan ini adalah adanya karyawan yang harus meninggalkan perusahaan atau terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Program PHK yang dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan besar dan menengah serta kecil, bervariasi dalam penanganannya dari yang menggunakan istilah “golden shakehand” sampai dengan ada yang pada akhirnya perusahaan mengalami masalah baru karena tidak baik dalam penanganannya.
Perkembangan teori organisasi perusahaan terus berlanjut sebagai upaya untuk mempertahankan kelangsungan bisnis perusahaan diantaranya bahwa suatu organisasi perusahaan harus terus berkembang dengan hal-hal yang lebih effisien (Organization Development), sebagai upaya mengantisipasi persaingan usaha. Salah satu metoda yang diterapkan adalah merubah sistim atau untuk hal-hal tertentu yang selama ini dianut yaitu sentralisasi menjadi desentralisasi, antara lain memberikan otonomi dalam hal kewenangan kepada unit-unit tertentu di dalam perusahaan. Dengan demikian terjadi pemotongan birokrasi yang berliku-liku, dengan pengertian bahwa yang menjadi kewenangan unit tersebut bisa langsung dilaksanakan tanpa harus menunggu instruksi dari pusat.Dengan pola ini apabila unit-unit tersebut terus berkembang maka unit-unit itu akan berubah menjadi unit bisnis tersendiri sehingga pada suatu saat akan menjadi apa yang disebut sebagai anak perusahaan, ini adalah sebuah pola atau sistem pendirian perusahan dengan metoda pengembangan organisasi. Akan tetapi dalam kenyataannya banyak anak-anak perusahaan bukan berasal dari unit bisnis tetapi dibentuk langsung (instant) menjadi anak perusahaan sehingga operasional anak perusahaan seperti anak sapi yang harus disusui oleh induknya, artinya ketergantungan terhadap induk perusahaan sangat besar.
Sebaliknya dari contoh diatas adalah adanya beberapa perusahaan yang menjadi satu (merger) dalam artian dalam satu wadah manajemen sehingga membentuk induk perusahaan (holding company), semua perusahaan itu menjadi anak perusahaan sehingga ada kewenangan-kewenangan yang diambil alih oleh induknya, dengan pola ini bisa dibayangkan akan terjadi pengurangan tugas dan wewenang dari perusahaan akibatnya tentu saja terjadi pengurangan tenaga pada lapis-lapis atas, mungkin saja setingkat direktur. Sebagai perbandingan untuk pola ini juga terjadi didalam dunia militer kita dimana jumlah kodam yang saat itu 27 buah dipersempit menjadi 10 kodam saja, dan itu masih belum ada perubahan sampai saat ini, artinya apa, bahwa telah terjadi bahwa puluhan jenderal akan menganggur atau menjadi pati di mabes AD alias non job. Hal ini akhirnya membentuk faksi-faksi atau kelompok-kelompok untuk saling berebut kekuasaan di dalam tubuh militer saat itu. Namun menurut saya dampak positipnya adalah terjadi persaingan untuk menjadi yang terbaik merupakan tantangan tersendiri bagi mereka yang masih mampu berpikir positip.
Contoh lain adalah dengan membuat organisasi horisontal (organization Horizontal), organisasi ini meminimalisasi keberadaan jabatan fungsional didalam perusahaan, yaitu dengan membentuk kelompok kerja ( pokja ) dan memberikan otonomi untuk mengambil kebijakan sendiri yang penting target-target perusahaan yang diberikan kepada pokja-pokja ini dapat tercapai. Untuk diketahui bahwa pokja dibentuk hanya untuk alur kerja yang inti saja artinya seluruh pekerjaan utama dari hulu ke hilir dikerjakan oleh pokja. Namun seringkali pengembangan organisasi tidak sesuai dengan budaya kita atau juga SDM perusahaan belum siap menerima perubahan yang signifikan sehingga dalam operasional seringkali terjadi hambatan, baik dari sisi sistem maupun SDMnya.
Jika kita perhatikan dari uraian-uraian diatas, maka kita akan mendapat gambaran betapa membuat struktur orgnisasi perusahaan bukanlah pekerjaan yang mudah, karena selain faktor-faktor teknis ada juga faktor non-teknis yang harus diperhatikan, jadi wajar saja jika ada perusahaan yang tidak terlalu mementingkan keberadaan sebuah struktur organisasi karena seringkali terungkap bahwa untuk membuatnya saja sudah susah apalagi untuk melaksanakannya..............

STRATEGY MENGELOLA SDM HANDAL

Standard
Seperti yang telah ditulis sebelumnya bahwa yang diperlukan untuk mempertahankan keryawan handal adalah dengan membangun komitmen diawal karyawan itu masuk, namun bagaimana jika memang karyawan sudah “given” dan kita harus membuat agar mereka betah di perusahaan, terutama bagi mereka yang dinilai potensial maupun yang handal. Untuk itu kali ini kita membahas mengenai hal yang lain dan merupakan kunci sukses beberapa perusahaan yang berhasil mempertahankan karyawan handalnya dengan strategi yang lain lagi. Jadi bagi sebuah perusahaan yang selalu dan terus bertahan bahkan selalu ingin yang terdepan dibanding para kompetitornya, tentu mempunyai keunggulan-keunggulan yang tidak bisa ditiru oleh para kompetitornya dan salah satu keunggulan itu adalah terletak pada Sumber Daya Manusia yang ada di perusahaan itu. Dengan begitu besarnya peran SDM dalam perusahaan tentu membawa para pengelolanya untuk terus mencari dan mencari strategi yang tepat agar para tenaga handalnya (SDM handal) mau tetap bertahan didalam perusahaan dan juga mampu menahan gempuran-gempuran dari luar perusahaan yang menginginkan tenaga-tenaga handal mereka. Apalagi saat ini sudah memasuki era globalisasi, dimana seperti kita bahwa era Globalisasi memang membuat lingkungan usaha gonjang-ganjing. Menggunakan istilahnya Rhenald Kasali, globalisasi menciptakan apa yang disebut sebagai lingkungan vertikal di mana perusahaan harus bertanding di atas tanah yang terus bergoyang sehingga pemanfaatan peluang usaha semakin sulit dan kemungkinan kegagalan menjadi semakin besar. Jeffrey Pfeffer mengatakan bahwa kunci keberhasilan memenangkan persaingan di lingkungan vertikal terletak di tangan SDM.
Yang menjadi persoalan, mengembangkan SDM yang nantinya bisa diandalkan bukan pekerjaan gampang. Ada perusahaan yang ingin potong kompas dengan mengambil SDM handal dari perusahaan lain. Kegiatan potong kompas ini semakin marak sehingga muncul fenomena baru: bajak membajak SDM. Contoh yang paling gres adalah SDM yang memiliki kemampuan/keahlian di bidang teknologi informasi (TI). Mereka sekarang jadi incaran banyak ‘pembajak’ SDM. Munculnya fenomena bajak-membajak tentu tidak menguntungkan perusahaan yang telah dengan susah payah mengembangkan SDM nya. Perusahaan tersebut mau tidak mau harus mencari jalan untuk mempertahankan SDM andalannya. Satu strategi yang umum diterapkan adalah dengan memberikan balas jasa tinggi yang baru bisa dicairkan setelah yang bersangkutan bekerja selama jangka waktu tertentu di perusahaan yang sama. Di AS, strategi ini dikenal sebagai Golden Handcuff.
Contohnya adalah AT&T yang pada tahun 1996 menyediakan paket balas jasa untuk Alex Mandl sebesar 10 juta dolar yang dapat dicairkan dalam jangka waktu 5 tahun. Tingginya balas jasa kepada Mandl bisa dimengerti mengingat ia telah disiapkan sejak lama untuk menjadi nahkoda AT&T. Mandl tidak hanya dikenal sebagai ‘orang dalam’ tapi juga dianggap tahu betul seluk beluk bisnis telekomunikasi. Macam Steve Ballmer di Microsoft.
Selama beberapa tahun, strategi golden handcuff cukup efektif menghambat arus eksodus SDM handal di AS. Namun di akhir tahun 1990-an semakin banyak perusahaan yang merasakan beban anggaran SDM yang semakin berat karena semakin besarnya balas jasa yang harus ditawarkan kepada SDM handal. Tambahan lagi, para pembajak SDM semakin berani menawarkan balas jasa yang (jauh) lebih tinggi. Contohnya adalah Teligent yang menawarkan paket balas jasa sebesar 20 juta dolar kepada Mandl yang dapat dicairkan dalam jangka waktu yang sama. Balas jasa yang besarnya mencapai dua kali lipat itu memang terbukti mampu membuat Mandl hengkang dari AT&T.
Dengan kata lain, strategi golden handcuff belakangan ini menciptakan semacam ‘perang harga’ yang tanpa berkesudahan. Perusahaan yang berkocek tebal lah yang bakal menang. Tapi masalah sebenarnya bukan sekedar tebal tipisnya kocek melainkan apakah uang sebanyak itu mampu mendatangkan pendapatan yang setara bagi perusahaan dengan mempertimbangkan ketakpastian lingkungan usaha. Semakin besar balas jasa yang ditawarkan kepada SDM, semakin besar risiko kegagalan usaha karena semakin besar biaya yang harus ditutup oleh pendapatan.
Ada strategi lain yang mungkin saja dapat diterapkan dan mengurangi kerugian yaitu dengan mengikat dalam bentuk kontrak dan adanya nilai transfer jika karyawan itu akan bekerja di perusahaan lain, sehingga biaya-biaya pengembangan bisa tertutupi, saat ini strategi itu diterapkan pada industri sepakbola profesional yang ada di liga-liga sepabola profesional di Eropah.
Namun masih adakah strategi alternatif yang lebih elegan ? Untuk menjawabnya, kita cukup kembali ke teori-teori motivasi. Teori pertama yang bisa dijadikan acuan adalah teori ‘motivator-hygiene’ (M-H) nya Frederick Herzberg. Teori M-H sebenarnya berujung pada kepuasan kerja, namun penelitian menunjukkan hubungan yang positif antara kepuasan kerja dan turnover SDM serta antara kepuasan kerja dan komitmen SDM. Pada intinya, teori M-H justru kurang sependapat dengan pemberian balas jasa tinggi macam strategi golden handcuff karena balas jasa tinggi hanya mampu menghilangkan ketakpuasan kerja dan tidak mampu mendatangkan kepuasan kerja (balas jasa hanyalah faktor hygiene, bukan motivator).
Untuk mendatangkan kepuasan kerja, Herzberg menyarankan agar perusahaan melakukan job enrichment, yaitu suatu upaya menciptakan pekerjaan dengan tantangan, tanggung jawab dan otonomi yang lebih besar. Itulah yang dilakukan oleh Bill Gates yang mendelegasikan sebagian kekuasaannya ke Ballmer agar Ballmer tidak kabur (di samping balas jasa yang menggiurkan), hal ini yang disebut dengan nilai kepercayaan ( belief) sebagai bagian dari komitmen. Seperti kita ketahui akhirnya Ballmer terbukti tetap bertahan di Microsoft dan bahkan kemudian dipromosikan menggantikan Gates.
Teori kedua adalah teori Scientific Management (SM) nya Frederick Taylor. Banyak yang mengatakan bahwa teori tersebut sudah usang karena menyarankan spesialisasi pekerjaan. Tapi kenyataannya teori SM masih mampu mencegah eksodus para pengemudi truk pengirim paketnya UPS. Para pengemudi ini dapat dikatakan merupakan ujung tombak UPS sebab merekalah yang mengambil dan mengantarkan paket dari/ke tangan konsumen. Mempersiapkan individu untuk menjadi pengemudi yang handal (menguasai rute-rute pengiriman paket) membutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya.
Turnover pengemudi yang relatif tinggi jelas merugikan UPS sehingga memaksa manajemen perusahaan untuk meneliti sebab musabab hengkangya mereka. Dari situ diketahui bahwa ternyata beban kerja pengemudi terlalu besar karena mencakup bongkar muat paket di terminal/depo. Kegiatan bongkar muat ini yang kemudian dialihkan ke sekelompok karyawan lain. Dengan kata lain, UPS mempersempit cakupan (menspesialisasi) kerja para pengemudi menjadi hanya mengemudi dan mengambil/mengantar paket yang memang merupakan fungsi pokok mereka. Hasilnya: semakin sedikit pengemudi UPS yang pindah ke perusahaan lain.
Alternatif lain di luar teori-teori motivasi adalah Job Customization, yaitu menyesuaikan pekerjaan dengan kondisi yang dihadapi oleh individu karyawan. Salah satu contohnya adalah flex hours yang diterapkan oleh Corning, penghasil barang-barang pecah belah kenamaan di AS. Corning menghadapi masalah banyaknya SDM andalan yang kerepotan membagi waktu antara kerja dan keluarga. Intinya, mereka mengeluh tidak punya waktu untuk keluarga. Dampak selanjutnya: kepuasan kerja dan kinerja mereka lambat laun menurun, dan bahkan ada diantara mereka yang berpikir untuk mencari pekerjaan lain yang sesuai dengan pola hidup mereka.
Manajemen Corning tidak mau membiarkan situasi dan pikiran seperti itu berkembang dan merambah ke seluruh perusahaan. Untuk itulah kemudian para karyawan diberikan fleksibilitas untuk bekerja hanya 3-4 hari dalam seminggu dengan jam kerja menjadi 12 jam per hari. Meski mereka tetap harus bekerja 40 jam seminggu, kebijakan tersebut setidaknya mengurangi waktu transpor dari rumah ke kantor dan kembali ke rumah. Mereka bisa menggunakan kelebihan waktu tadi untuk mengurus keluarga. Walhasil, kepuasan kerja dan kinerja karyawan meningkat bahkan melebihi perkiraan manajemen perusahaan, dan turnover SDM bisa diminimalkan.
Penyampaian strategi alternatif untuk mempertahankan SDM handal dimaksudkan agar perusahaan tidak terpaku pada sebuah strategi seperti golden handcuff yang walaupun masih cukup populer namun semakin lama tampak semakin berkurang keampuhannya, dan, yang lebih penting, penerapan strategi alternatif tersebut tidak berdampak membengkaknya biaya SDM sebesar penerapan strategi golden handcuff sementara efektivitasnya bisa lebih tinggi. Oleh karena itu sangat sesuai untuk diterapkan di perusahaan-perusahaan yang memiliki keterbatasan modal kerja.